RAJAWALI SAKTI

RAJAWALI SAKTI

PANCASILA DAN BUTIR-BUTIRNYA

PANCASILA

1. Belief in the one and only God (Ketuhanan yang Maha Esa)
2. Just and civilized humanity (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab)
3. The unity of Indonesia (Persatuan Indonesia)
4. Democracy guided by the inner wisdom in the unanimity arising out of deliberations amongst representatives (Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan)
5. Social justice for the whole of the people of Indonesia (Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia)

Explanatory Points (Butir-Butir Pancasila)

Belief in the one and only God

• To believe and to devote oneself to one God according to his/her own religions and beliefs in the principle of just and civilized humanity (Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab)
• To respect and cooperate with people of different religions and belief in order to achieve harmonious living (Hormat dan menghormati serta bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup)
• To respect freedom of performing religious duties according his/her own religions and beliefs (Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing)
• To not force religions or beliefs onto others (Tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaannya kepada orang lain)

Just and civilized humanity

• To conform with equal degree, equal rights, and equal obligations between individuals (Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia)
• To love human being (Saling mencintai sesama manusia)
• To develop tolerant attitude (Mengembangkan sikap tenggang rasa)
• Not to be disrespectful to others (Tidak semena-mena terhadap orang lain)
• To hold high the values of humanity (Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan)
• To do humanity works (Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan)
• To be brave in defending truth and justice (Berani membela kebenaran dan keadilan)
• Indonesians should consider themselves as part of International Community, and hence must develop respect and cooperation with other nations (Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari masyarakat Dunia Internasional dan dengan itu harus mengembangkan sikap saling hormat-menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain)

The unity of Indonesia

• To protect the United Nation of the Republic of Indonesia's unity (Menjaga Persatuan dan Kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia)
• Willing to sacrifice oneself for the sake of the country and nation (Rela berkorban demi bangsa dan negara)
• To love the motherland (Cinta akan Tanah Air)
• To be proud for being part of Indonesia (Berbangga sebagai bagian dari Indonesia)
• To be well-socialised in order to keep the nation's unity in diversity (Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika)

Democracy guided by the inner wisdom in the unanimity arising out of deliberations amongst representatives

• To prioritize on national and community interests (Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat)
• Not forcing one's will to other people (Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain)
• To prioritize on the culture of unanimous agreement in public decision making (Mengutamakan budaya rembug atau musyawarah dalam mengambil keputusan bersama)
• To keep the discussion until a consensus or an unanimous consent is reached embodied by the spirit of kinship (Berrembug atau bermusyawarah sampai mencapai konsensus atau kata mufakat diliputi dengan semangat kekeluargaan)

Social justice for the whole of the people of Indonesia

• To be just toward fellow people (Bersikap adil terhadap sesama)
• To respect other people's rights (Menghormati hak-hak orang lain)
• To help one another (Menolong sesama)
• To cherish other human being (Menghargai orang lain)
• To do useful tasks for common good and for public behalf (Melakukan pekerjaan yang berguna bagi kepentingan umum dan bersama)

Atas nama BANGSA INDONESIA

Atas nama BANGSA INDONESIA

Sabtu, 29 November 2008

5 Virus yang merusak sendi-sendi Pancasila "Virus IV Individualisme"

"Virus IV Individualisme"

Pada era pasca reformasi ini nampaknya bangsa kita sudah terkotak-kotak oleh apapun yang membuat perbedaan, baik itu secara politik, ideologi, maupun agama. Yang menjadi masalah adalah ketika perbedaan itu menimbulkan kekuatan yang berdasarkan kebencian atau dendam sehingga menimbulkan kebencian pula diantara sendi-sendi masyarakat bangsa ini. Dan pada akhirnya perbedaan itu membuat perpecahan dan pertengkaran dimana-mana.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang paling heterogen di dunia. Sejak zaman dahulu kala memang begitu adanya. Sejarah pun membuktikan pada zaman dahulu ada suatu keadaan yang damai di bangsa ini, dimana ketika itu rakyat bersatu dengan pemimpinnya. Pada saat yang damai itupun meninggalkan sesuatu yang berharga guna menyatukan bangsa yang paling heterogen di dunia ini, sesuatu yang berharga itu telah menjadi “pijakan dasar” dari lambang dasar Negara bangsa kita “Garuda Pancasila” yaitu “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya “berbeda-beda tetapi tetap satu jua” sehingga perbedaan yang ada adalah seperti warna-warni yang bersatu dalam pelangi sehingga terlihat sangat indah adanya.

Di daerah pedesaan masih ada budaya-budaya yang dimana perbedaan itu terlihat indah, seperti budaya ”gotong-royong” yang berasaskan kekeluargaan, wujud kekeluargaan itu terlihat dari desa-desa yang saling menutupi kekurangan bahan-bahan makanan untuk dikonsumsi rakyat desanya, contohnya ketika desa A kekurangan beras dan kelebihan sayur-mayur dan desa B kekurangan sayur-mayur dan kelebihan beras, maka desa A akan menyuplai sayur-mayur ke desa B dan beugitu pula dengan desa B yang akan menyuplai beras ke desa A, sehingga kebutuhan satu sama lainnya saling terpenuhi, contoh lainnya, jika ada warga desa yang ingin membangun rumah mereka, mereka akan bergotong-royong membangun rumah tersebut, kemudian jika melakukan kerja bhakti untuk membersihkan desanya mereka selalu bergotong-royong atau dikenal sebagai “gugur gunung”, dan jugaketika ada suatu permasalahan mereka bermusyawarah dibalai desa untuk mencapai sebuah kata mufakat, yaitu sebuah mufakat yang berazaskan kekeluargaan yang harmonis, disinilah adanya keharmonisan bahwa ikatan sesama manusia adalah ikatan tali silaturahmi yang saling menguntungkan dan saling membutuhkan satu sama lainnya dimana keseimbangan dan keadilan itu adalah wujud laku dari pola hidup dari masyarakat sosial di desa. Sehingga keadilan sosial masyarakat bisa tercipta.

Tetapi jika kita lihat kehidupan masyarakat di kota adalah sangat bertentangan jika dibandingkan dengan kehidupan di desa. Di kehidupan perkotaan telah dimasuki virus-virus Individualisme barat sehingga kesenjangan sosial dikota sangat jauh jarak perbedaannya, sehingga terjadi banyak dikotomi-dikotomi di sendi-sendi masyarakat sosial perkotaan. Di satu sisi ada yang meraih perekonomian untuk keluarganya hingga beratusan juta, tetapi di sisi lain ada yang kurang perekonomiannya bahkan sehari-harinya pun tidak mencukupi untuk menutupi kebutuhan makan keluarganya, oleh karena itu Nilai-nilai kebersamaan dikehidupan perkotaan telah tergerus oleh virus individualisme. Jika masyarakat perkotaan sadar akan dirinya kalau apa yang dia dapatkan terdapat haknya Tuhan, yaitu hak fakir miskin, yatim piatu, atau mereka yang kekurangan tentunya kesenjangan sosial yang tinggi ini tidaklah terjadi. Sebenarnya kita bukanlah bangsa yang Individualisme seperti keadaan sekarang ini, nilai-nilai leluhur dari nenek moyang bangsa kita selalu mempertahankan budaya “Gotong Royong” berazaskan kekeluargaan. Semenjak masa pasca-reformasi ini virus individualismelah yang merasuki jiwa pemudi-pemuda bangsa ini. Mereka mencari suatu ideology baru yang mencontoh dunia luar tetapi lupa dan tidak mencari dalam budayanya sendiri, sehingga nilai-nilai The Founding Fathers bangsa ini seolah-olah terkubur kembali sehingga reformasi kita adalah sebuah reformasi yang kebablasan, sehingga membuat virus-virus individualisme bisa merajalela dalam tubuh bangsa ini.

Virus Individualismelah yang menyebabkan kesenjangan sosial yang sangat di perbedaan-perbedaan dalam bangsa ini. Individualismelah yang akan membentuk pembunuh-pembunuh berdarah dingin secara tidak langsung karena dari kemewahan yang berlebihan akan menimbulkan banyak kenistaan yang berbuah kebencian. Kita harus menciptakan suatu keadaan yang seimbang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Suatu keadaan yan seimbang itulah yang dicontohkan oleh saudara-saudari kita yang hidup di alam pedesaan. Oleh karena itu kita seharusnya sama-sama “bergotong-royong” menyembuhkan diri dari virus-virus individualisme, agar kita tidak membentuk pembunuh-pembunuh berdarah dingin oleh karena kerakusannnya akan kemewahan dari masyarakat lingkungan sekitar kita. Jika kita bisa mengaktualisasikan nilai-nilai “Gotong-Royong” seperti perilaku yang terjadi di masyarakat pedesaan dan yang telah dirumuskan didalam “Pancasila” dan menjadi wujud laku dalam praktek kehidupan sosial masyarakat kita sehari-hari maka itu menjadi contoh laku untuk generasi penerus bangsa ini, karena perilaku kita adalah guru moral yang terbaik dalam system “saling didik-mendidik” untuk membentuk karakter moral yang berbudiluhur dalam bangsa kita berdasarkan nilai-nilai luhur dari budaya lokal nenek moyang kita sendiri. Dan ketika karakter moral bangsa kita telah terbentuk, The Founding Fathers bangsa ini akan tersenyum kembali melihat bangsanya yang terdiri dari ratusan juta insan kamil.

5 Virus yang merusak sendi-sendi Pancasila "Virus III Neo Imperialisme"

"Virus III Neo Imperialisme"

Rakyat Indonesia kini telah hilang kepercayaan pada diri sendiri, hilang kebanggaanya, hilang kepribadiannya dan hilang ketabahan dalam menjalani hidupnya” Semangat Macan Asia” kini sudah meredup dalam dan telah menjadi “Semangat Kambing” yang pengecut. Semangat bentukan dari virus neo imperialisme inilah yang menjadi virus yang paling mematikan bangsa ini. Ketika rakyat Indonesia itu meyakini bahwa ia adalah “Bangsa Kambing” yang selamanya tidak bisa mandiri dan selalu dituntun layaknya seekor kambing. Tetapi dalam keadaan yang sangat kritis inilah akan timbul kemauan, kemauan karena merasakan kesengsaraan dimana air mata yang telah sekian lama mengalir kini akan menjadi mata air bangsa ini, disinilah titik balik dimana kemauan akan menjadi semangat yang membara untuk bangkit dari keterpurukan dan kesengsaraan ini. Semangat ini akan menumbuhkan keinginan untuk menyembuhkan diri dari virus-virus yang merusak yang telah menyakiti terlalu dalam ketubuh bangsa ini. Dan kemudian kemauan untuk bangkit itu akan mengarahkan ke suatu pergerakan, perwujudan laku untuk membuat sebuah anti virus untuk membasmi virus-virus yang merusak bangsa ini. Hingga kelak tak ada lagi pencuri yang dipenjara berbulan-bulan disebabkan karena mencuri sebab perutnya sendiri dan perut keluarganya kelaparan, dan tidak ada lagi orang yang mempertahankan hidupnya hanya cukup untuk makan sekali sehari sehingga kebutuhan pendidikan dan lain-lainnya tidaklah mungkin tepenuhi. Tetapi kita harus yakin bahwa fajar akan masih menyingsing, matahari masih akan terbit, dan ketika itu akan muncul suatu keadaan dimana orang kaya tidak terlalu bermegah-megahan dan orang miskin tidak terlalu melarut. Sehinga bangsa ini akan berfokus untuk mengembangkan dirinya, melebarkan sayapnya untuk membebaskan bangsa-bansa lain dari kemelaratannya. Dan neo imperialisme akan gugur dikalahkan dengan ratusan juta insan kamil bangsa Indonesia.

Imperialisme tua dikalahkan oleh “Semangat Marhaen” yang digerakkan oleh Bung Karno dalam mencapai kemerdekaan bangsa kita. Dalam zaman sekarang ini Imperalisme modern atau neo imperialisme telah menanamkan kembali pasca reformasi ini bahwa bangsa Indonesia adalah “Bangsa kambing”. Yang beranggapan bangsa kami ini memang bodoh yang kebodohan itu sesugguhnya adalah efek dari virus-virus Neo Imperalisme yang diinjeksikan di sendi-sendi bangsa kami. Neo Imperialisme atau Imperialisme modern adalah suatu bentuk baru dari Imperalisme tua. Bung Karno menyebutkan bahwasanya Imperalisme modern adalah anak dari Imperalisme tua yang disesuaikan dengan zaman si anak dan caranya akan jalannya Imperalisme modern tetapi intinya tetaplah ia suatu nafsu, suatu system yang mempengaruhi dan menguasai ekonomi suatu bangsa dan negeri yang kaya akan sumber daya alamnya, suatu system keserakahan yang ingin merajai ekonomi dunia dari pembodohan bangsa lain.

Menurut Neo Imperialisme di Indonesia ada empat sifat : Pertama : Indonesia tetap menjadi negeri pengambilan bekal hidup, Kedua : Indonesia menjadi pengambilan bekal-bekal untuk pabrik-pabrik asing, Ketiga : Indonesia menjadi negeri pasar penjualan asing, Keempat : Indonesia manjadi lapangan usaha bagi modal yang ratusan, ribuan, jutaan jumlahnya. Dan hingga saat ini Neo Imperialisme telah mencapai puncaknya, karena berhasil menanamkan virusnya kepengusaha-pengusaha pribumi, pengusaha atau kaum modal dari pribumi (swasta) memiliki kepentingan untuk mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya walaupun dengan menekan dengan rendah tenaga produksi dan sebab karena itu maka pergaulan hidup akan merendah juga. Inilah yang diinginkan Imperialisme modern itu dengan menghalangi kemajuan rakyat kami dan menciptakan kesenjangan sosial antara kami, sehingga kami saling mengalahkan antara kaum pemodal dan kaum buruh. Akhirnya rakyat pribumi hanya menjadi kaum buruh belaka. Baik pengusaha, kaum pemodal ataupun kaum buruh adalah kaum buruh didalam pergaulan bangsa-bangsa hanyalah sebuah boneka dari Negara-negara maju ! akan tetapi, kata Bung Karno “siapa yang bisa merantai suatu bangsa, kalau semangatnya tak mau dirantai? siapa yang bisa membinasakan suatu bangsa kalau semangatnya tidak mau dibinasakan?” ,juga kata Bung Hatta “ Lebih suka kami melihat Indonesia tenggelam kedasar lautan, daripada melihatnya sebagai embel-embel abadi pada Negara asing” Begitulah pesan-pesan untuk menginsyafi nasionalisme oleh Bung Karno dan Bung Hatta sebagai The Founding Fathers bangsa ini dengan keinsafan-keinsafan berbangsa dengan Cinta Tanah Air dengan keinsyafan untuk bersatu dalam NKRI dengan semangat Nasionalisme. Dengan semangat nasionalisme yang demikian ini akan timbul suatu percaya pada diri sendiri bangsa ini, dan nantinya akan membawa ke suatu pergerakan nasional untuk bangkit dalam setiap aspek wawasan nusantara, akan membawa kita menjadi suatu bangsa besar dimana bangsa yang besar ini tidaklah besar kepala dengan bangsa lain, tetapi berdasar hati dari bangsa lainnya. Yaitu bangsa yang berbesar hati walaupun disebut-sebut “bangsa kambing”, sehingga akan membuka mata bangsa lain yang mengatakan “Bangsa Kambing” itu sehingga mereka akan menginsyafi setiap bangsa adalah bahwasanya adalah bangsa yang “Satu”.

Nasionalisme bangsa Indonesia tidak seperti Nasionalisme bangsa lain yang menganggap rendah bangsa lainnya melainkan Nasionalisme yang berprikemanusiaan, dimana kita menghargai bangsa-bangsa dalam dunia. Internasionalisme, dimana nasionalisme kita akan tumbuh subur dalam dalam landasannya Internasionalisme. Untuk menyuburkan rasa nasionalisme ada 3 jalan seperti yang disampaikan oleh Bung Karno pada siding pengadilan colonial di Bandung 1930, pidato yang berjudul Indonesia Menggugat, yaitu : Pertama, kami menunjukkan kepada rakyat, bahwa ia punya hari dulu adalah hari dulu yang indah. Kedua, kami menambah keinsafan rakyat, bahwa ia punya hari sekarang, adalah hari sekarang yang gelap. Ketiga, kami memperlihatkan kepada rakyat sinarnya hari kemudian yang berseri-seri dan terang cuaca, beserta cara-caranya mendatangkan hari kemudian yang penuh dengan janji-janji itu. Bung Karno mengingatkan juga bahwa “Nasionalisme tidak akan tumbuh subur dalam ladangnya Internasionalisme” dan Bapak Mahatma Ghandi juga pernah berkata “Nasionalismeku adalah kemanusiaan” sehingga ia yang mengumpat bangsa lain itu menjadi malu telah merendahkan bangsa lainnya. Karena dengan merendahkan bangsa lain sesungguhnya ia merendahkan bangsanya sendiri.

5 Virus yang merusak sendi-sendi Pancasila "Virus II Kelirumologi"

"Virus II Kelirumologi"

Jika membaca sebuah buku yang berisi kumpulan-kumpulan artikel Presiden RI I Bung Karno ada sebuah artikel yang berjudul “Islam Sontoolooyoo!”, Bung Karno disana mengomentari tentang orang-orang Islam yang salah kaprah -atau kelirumologi menurut Jaya Suprana- tentang ajaran Islam itu sendiri. “Dibawah Bendera Revolusi” sangat relevan dalam carut marutnya bangsa kita pasca reformasi ini, dimana reformasi kita adalah reformasi kebablasan, malahan lebih liberal dari liberalismenya dunia barat. Sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila seolah-olah terkubur kembali pasca reformasi bangsa ini. Jangankan pemahaman essensi Pancasila, pemahaman essensi tentang agamanyapun makin banyak pemeluknya yang masih kelirumologi, seperti kita ketahui di era reformasi ini diantara orang Islam banyak yang tidak memahami essensi Islam itu sendiri yaitu kerukunan dan perdamaian, banyak dari mereka memusuhi orang yang diluar Islam, mereka menganggap diri mereka adalah paling benar dan meyakini dirinya dijamin surga oleh Tuhan, mereka selalu berdebat tentang kebenaran prinsipnya, bahkan dengan saudara seimannya mereka berdebat lalu memisahkan diri dari apapun yang menjadi perbedaan untuk mempertahankan kebenarannya pribadi masing-masing. Berbeda ajaran dan aliran mereka bertikai, hanya berbeda baju mereka bertikai, mereka berbeda masjid mereka bertikai, dan mungkin antara mereka yang ada jenggot dengan yang tidak ada jenggot pun mereka memisahkan diri. Mereka anggap yang diluar Agama atau aliran yang mereka anut adalah hina, mereka anggap saudara mereka yang berbeda prinsip adalah bukanlah saudara di mata mereka, mereka lupa bahwasanya semua manusia diciptakan dalam satu persaudaraan kejiwaan, tidak ada satu manusiapun yang tidak ditiupkan Cahaya-Nya, cahaya yang kita sebut Nur Muhammad (menurut ajaran Islam) dan Ruh Kudus (menurut ajaran Kristen), maka semua manusia tak luput dari kemuliaan-Nya, tidak ada seorangpun yang hina dimata Tuhan.

Nabi-nabi diturunkan ke dunia ini adalah sebagai contoh untuk umatNya. Perbuatan sebagai contoh dari Nabi Muhammad, Nabi Isa, Nabi musa, dan yang lainnya adalah akhlaq yang mulia dalam menjalani kehidupan ini, yang menjaga alam semesta beserta isinya, yang menghargai umat agama lainnya, bahkan menghargai orang yang memusuhinya sekalipun. Hati beliau-beliau sungguh telah dibersihkan dari daya kebendaan yang diliputi oleh hawa nafsu, sehingga mereka dapat menghargai perbedaan yang ada dengan segala kebijaksanaannya yang tercermin dalam sikap dan perilakunya yang sopan dan santun serta penuh kasih sayang terhadap siapapun tanpa pandang bulu, kesemuanya itu beliau lakukan untuk contoh kepada umatnya agar kita tetap bersatu demi terciptanya perdamaian di seluruh alam semesta ini. Memang manusia diciptakan oleh Tuhan dengan berbeda-beda golongan, berlainan jenis dari berbagai macam suku bangsa, tetapi ketika perbedaan itu membuat perpecahan yang menimbulkan pertikaian dan kekerasan yang jauh dari perdamaian inilah yang harus dihindarkan, mereka yang terus menerus berdebat untuk membenarkan pendapatnya sendiri tanpa menghargai pendapat orang lain sehingga pada akhirnya nanti muncullah suatu pertikaian dan kekerasan yang menimbulkan perpecahan diantara mereka sendiri. Mereka yang menunggalkan kebenarannya sendiri dengan menempuh jalan kekerasan telah tertipu oleh akal pikiran dan hati mereka sendiri, mereka itu seorang Islam, seorang Kristen, seorang Hindu, seorang Budha, seseorang yang beragama tetapi umat yang sontoolooyoo!

Banyak juga dari pemuka agama mungkin yang dikenal sebagai orang yang terpandang dalam segi agama dari masyarakat, mulut mereka selalu mengajak dalam kebenaranNya, tetapi itu hanya dimulutnya saja sedangkan dihati mereka sudah dikuasai oleh materi, mereka hidup bermewah-mewahan, mereka sudah berhaji berkali-kali, keliling dunia berkali-kali, mereka memiliki rumah yang megah, mobil-mobil yang mewah, mereka lupa bahwa Nabi-nabi mereka tidak sesekalipun mengajarkan “wahai umatku, bermewah-mewahanlah kalian” mereka melupakan bahwa Nabi-nabi mereka hidup dalam kesederhanaan bahkan dalam kesengsaraan. Jika kita lihat ajaran umat Islam suatu ayat Al Qur’an yaitu dari surat At-takasur ayat 1 (satu) yang berbunyi : “Alhakumuttakasur”, yang artinya “bermegah-megahan akan melalaikan kamu!”, dalam ayat ini Tuhan telah memperingatkan kita dengan jelas dan tegas!, tetapi diantara mereka ada yang masih tetap berkubahkan emas ditengah-tengah lingkungan mereka yang dilanda kesusahan dan kelaparan!, mereka membeli peralatan ibadah mereka dengan harga berjuta-juta yang mungkin satu set perlengkapan ibadah mereka bisa memakmurkan sepuluh kepala keluarga si miskin yang disekitar lingkungan mereka. Apakah sekarang gengsi dari daya kebendaan dan kemewahan telah mengikis rasa kemanusiaan dan perikemanusiaan mereka. Mereka hanya memikirkan diri mereka sendiri, mereka sholat mengaji,dan berpuasa hanya agar dirinya sendiri terhindar dari neraka, mereka lupa menunjukkan bhakti mereka kepadaNya yaitu menjadi sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Mereka malah menimbun-nimbun harta dan emas di bank-bank kapitalis dengan mengharapkan bunga yang tinggi yang di Islam atau Kristen sendiri disebut sebagai riba atau puluhan, riba atau puluhan hanyalah akal-akalan manusia untuk kucing-kucingan dengan ayat Tuhan. Sistem buatan kapitalisme itu tidak menyentuh kegiatan ekonomi bawah, sehingga kegiatan ekonomi hanya berputar dikalangan kapitalis sejati, sehingga orang miskin di dunia semakin bertambah. Dan mereka yang menimbun-nimbun harta dan emas ini yang berharap mendapatkan dengan mudah bertambahnya harta mereka walaupun dengan memakan sistem kamuflasenya riba tersebut yang sesungguhnya adalah jatah rezekinya si miskin! Dan diantara mereka itu ada yang menyebut dirinya Islam tetapi tindakan mereka jauh dari nilai-nilai ajaran agamanya sendiri dan mereka itu adalah termasuk juga dalam golongan umat yang Sontoolooyoo!

Kita mungkin telah lupa bahwa esensi dari agama itu adalah untuk membuat perdamaian di seluruh alam semesta, jika di ajaran Islam disebut sebagai ”Rahmatan lil alamin”, Rahmat bagi seluruh alam semesta tanpa pandang bulu, tidak ada yang membedakan manusia kecuali taqwa dan imannya, dan itu hanyalah Tuhan dan dirinya sendiri yang bisa mengukurnya. Kita tidak berhak menghina dan membuat pertikaian antara satu sama lainnya, karena kita adalah satu dalam perbedaan, karena tidak ada setitik partikel zat terkecilpun yang tidak diliputi oleh DzatNYA, daun yang jatuh adalah tidak sia-sia Tuhan jatuhkan, tidak ada kejadian di dunia ini adalah diluar kehendakNya. Ada sebab pasti ada akibatnya. Semua kejadian yang meliputi didalam dan diluar dirinya seorang manusia adalah cerminan dari perbuatan dan perilakunya terhadap sesama beserta isi seluruh alam semesta ini. Apa yang kita tanam itulah yang akan kita tuai, marilah kita tanam benih-benih Islam sejati yang menyuburkan Pancasila kita, dimana Pancasila yang menghargai dan menghormati keberagaman agama akan membuat suatu perdamaian, dan Pancasila itu ada dalam pangkuan ajaran Islam yang merahmati seluruh Umat manusia. Marilah kita bergotong-royong untuk kesejahteraan bersama, dan marilah kita renungkan semua essensinya dari Islam dan Pancasila itu sendiri ini lalu secepat mungkin berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi orang-orang lain yang kesusahan dimulai dari sekitar kita sehingga setitik kebaikan akan membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih baik.

5 Virus yang merusak sendi-sendi Pancasila " Virus I Fundamental Agamis"

" Virus I Fundamental Agamis"

Sejak Pasca reformasi ini banyak pihak-pihak yang ingin mengubur kembali nilai-nilai dari Pancasila, mereka ingin bangsa ini pecah, mereka ingin bangsa ini bertikai, maka mereka mulai menyebar virus mereka ke berbagai golongan masyarakat bangsa kita dari bangsa kita dalam berbagai jalur wawasan Nusantara kita. Akibat daripada virus itu beberapa golongan masyarakat umat beragama ada yang menuding bahwa ajaran dasar negara kita “Pancasila” adalah sebuah Ideologi yang bertentangan dengan dasar ajaran agama. Mereka menuding Pancasila adalah buatan zionisme yang anti Tuhan, apapun alasannya sesungguhnya mereka hanya yang ingin mengubur kembali nilai-nilai luhur budaya lokal yang terkandung dalam Pancasila ini, karena yang mempersatukan bangsa ini adalah Pancasila, oleh karena itulah satu-satunya tujuan mereka hanyalah untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa ini, karena Pancasila sejak dahulu adalah nilai-nilai dari budaya nenek moyang bangsa kita yang digali kembali oleh The Founding Father kita sebagai alat satu-satunya alat pemersatu bangsa kita. Pihak-pihak yang menginginkan bangsa ini pecah telah meracuni pemikiran-pemikiran dengan menyesatkan logika Pancasila dari tiap-tiap silanya. Terutama pada Sila yang seharusnya menjadi Ruhnya Pancasila itu sendiri yaitu Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam sila pertama ini mereka mempengaruhi dan menyebarkan virus-virus kebencian dari pemuka-pemuka agama di bangsa ini, terutama agama Islam karena Islam adalah agama mayoritas di Republik ini, Beberapa golongan dari umat Islam seperti kaum fundamentalis Islam sebagai contoh, ada yang mengatakan bahwa “Pancasila adalah ajaran sesat, ajaran yang bertentangan dengan konsep Islami!”.

Sesungguhnya mereka yang terpengaruh isu-isu yang meyesatkan bangsanya sendiri, tidak mengerti bahwa ada perbedaan yang mendasar antara “Dasar Negara” dan “Dasar Agama”. Dalam perjalanan sejarah bangsa ini kita mengenal sosok “Buya Hamka” sebagai tokoh besar kaum muslimin yang turut membesarkan organisasi masyarakat Islam Muhamadiyah yang dulu berpolitik untuk memberlakukan syari’at Islam pada zaman Bung Karno. Beliau dalam berpolitik pada awalnya akur dengan Bung Karno, kemudian pada saat partai Islam menduduki konstituante perumusan UUD yang salah satunya diwakili oleh Bapak Buya Hamka, ingin memasukkan dan menegakkan syari’at Islam dalam perumusan UUD. Menanggapi hal ini Bung Karno berpendapat bahwasanya jika umat Islam menginginkan negara ini diwarnai oleh nilai-nilai ajaran Islam, maka berjuanglah umat Islam untuk menduduki sebagian besar suara di parlemen, dan juga jika umat Kristiani ingin negara ini diwarnai oleh nilai-nilai ajaran Kristen maka, umat Kristiani harus berjuang pula untuk mendapat sebagian besar suara di parlemen. Dengan asas ini akan tercapai keadilan dan kerukunan antar umat beragama. Kemudian Bung Karno mengambil sikap yang tegas dengan membubarkan konstituante dan kembali ke UUD 1945 dengan menerapkan demokrasi terpimpin melalui dekrit presidennya untuk menyelamatkan negara ini dari perpecahan umat beragama. Dari pengalaman masa lalu tersebut kemudian banyak orang Islam yang moderat masih menyimpan kebenciannya atas kegagalan mereka menegakkan syari’at Islam pada waktu itu sehingga banyak kesalahpahaman tentang Pancasila dari kejadian sejarah ini.

Dalam kancah dunia perpolitikan Bapak Buya Hamka, tokoh besar Islam yang juga pernah menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia yang pertama kali inipun tidak pernah sama sekali beliau menentang konsep dasar negara kita “Pancasila”. M.Natsir juga pernah berkata “Pancasila akan tumbuh subur dalam pangkuan Islam”. Bapak Buya Hamka dan bapak M. Natsir adalah tokoh Islam yang sangat mengerti betul menempatkan diri sebagai hamba-NYA dan sebagai bangsa Indonesia adalah satu kesatuan jiwa dimana ada saatnya beliau memposisikan dirinya sebagai bangsa Indonesia, beliau akan berjuang untuk menjaga persatuan dan kesatuan demi terciptanya apa yang menjadi tujuan bangsa dan negaranya dan adalah suatu kewajiban pula bagi seorang muslim untuk berjuang agar kesejahteraan masyarakat Negara dimana-mana orang muslim itu bertempat bisa terwujud dan terciptanya perdamaian.

Pancasila sebagai “Dasar Negara” harus dibedakan dengan “Dasar Agama” karena dua hal tersebut sangat berbeda. Dasar Negara ialah dasar kebangsaan, dimana kita sebagai bangsa Indonesia telah bersumpah pada saat 28 oktober 1928, hari yang kita kenal sebagai hari sumpah pemuda dimana kita mengikrarkan bahwa pemuda-pemudi Indonesia bertanah air satu, tanah air Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia, berbangsa yang satu Bangsa Indonesia. Sedangkan Akidah Agama ialah dasar manusia sebagai hamba-NYA, dimana sebagai hamba-NYA kita wajib untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada yang membedakan manusia kecuali iman dan takwanya dalam konteks agama. Disediakan surga-NYA untuk hamba yang bertakwa kepada-NYA, dan neraka bagi mereka yang mengingkari Tuhan. Agama sebagai pandangan dasar hidup seorang manusia secara universal. Perbedaan yang mendasar pula bisa kita lihat di wilayahnya. Negara tidak bisa diorganisirkan di langit atau di akhirat nanti. Tetapi dunia yang fana ini adalah lisensi setiap manusia untuk menuju langit. Disinilah hubungan antara “Dasar Negara” dan “Dasar Agama” harus berjalan dengan harmonis dan berimbang.

Kita sebagai bangsa Indonesia harus mempunyai nasionalisme berdasarkan dasar negara Pancasila dan agar menjaga agar tidak menjadi chauvinisme diatas itu kita harus sadar diri bahwa kita sebagai hamba-NYA yang sangat kecil dihadapan-NYA kitapun wajib beriman dan bertakwa berdasarkan keyakinan sesuai dengan dasar agamanya masing-masing. Setiap agama mengajarkan untuk menghormati agama lainnya, Manusia diciptakan oleh Tuhan dengan berbeda-beda jenis, bangsa, dan golongan, tetapi pada dasarnya manusia itu adalah satu. Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa hidup sendiri karena satu sama lainnya harus saling melengkapi,saling meghormati,saling menjaga,dimana kelebihan yang satu menutupi kekurangan yang lainnya, sehingga satu dalam kebersamaan, satu dalam gotong-royong. Satu kerukunan antara umat beragama dimana adalah menjadi suatu kewajiban manusia yang beragama yang meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa, lalu dari keyakinan itu menjadi bhakti kita kepada-NYA untuk saling bergotong-royong, saling menghormati, saling mencintai sesama manusia untuk menciptakan perdamaian didunia ini. Disinilah seharusnya nalar kecerdasan bangsa ini melihat segala sesuatu seperti virus-virus fundamentalis yang menimbulkan kebencian diantara umat beragama bangsa ini, agar tak terjebak oleh fitnah untuk memecah belah bangsa ini dengan isu-isu agama yang mencoba mengubur kembali dasar negara kita “Pancasila” dimana suatu kerukunan beragama akan tumbuh dengan suburnya di negeri yang kita cintai ini.

Rabu, 27 Februari 2008

Filsafat Pancasila Sila V “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”


Apa yang menjadi cita-cita dan tujuan Pancasila terdapat di sila ke-5 ini yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Cita-cita dengan keadilan sosial untuk membentuk suatu masyarakat adil dan makmur dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila adalah penyeimbang diantara Declaration of Independence dan Manifesto Komunis yang selalu membuat pertentangan-pertentangan fisik maupun Ideologi di dunia. Dari yang mereka yang menganut paham Ideologi Declaration of Independence telah melahirkan kaum kapitalis, pengusaha-pengusaha, dan dari mereka yang berpaham manifesto komunis melahirkan kaum komunis, sosialis, dan kaum buruh yang sangat terkenal dengan ajaran Marxismenya. Jika dalam negara yang didominasi oleh kapitalis maka keberpihakkan ekonomi menguntungkan kaum kapitalis dan pengusaha, sehingga menyebabkan ketidak adilan dari kaum buruh. Demikian pula adanya jika di sebuah negara yang didominasi kaum komunis atau kaum buruh, maka sistem perekonomian yang adapun terlalu memihak ke kaum buruh dan dalam keadaan ini, pihak yang dirugikan adalah pihak pengusaha. Selalu ada ketidakpuasan dalam penegakan keadilan dalam segala hal. Bagi kita bangsa Indonesia tidaklah sesuai sistem-sistem yang berdasarkan Ideologi-ideologi di atas. Satu-satunya yang cocok untuk bangsa ini adalah “Pancasila”, karena ia digali dari budaya lokal dan kearifan lokal selama berabad-abad tahun kebelakang oleh The Founding Father bangsa ini.

Pancasila hadir untuk menyelenggarakan bentuk masyarakat yang adil dan makmur, untuk menyelenggarakan sosialisme ala Indonesia. Bapak Presiden R.I yang kedua yaitu Bapak Soeharto pernah bertanya kepada bung Karno sewaktu bung Karno menjelaskan Revolusi Indonesia “Masyarakat Pancasila itu masyarakat yang bagaimana? Masyarakat yang sosialistis, masyarakat yang religius, atau masyarakat yang kapitalistis, liberalistis? Bagaimana?”. Bung Karno menjawab, “Bukan. Tetapi masyarakat yang sosialistis-religius. Masyarakat Pancasila adalah masyarakat yang sosialistis-religius”. Dan sebagai masyarakat sosialistis religius, bukan hanya masyarakat sosialisme, karena ada sosialisme tidak mengakui adanya Tuhan. Dalam religius dimana kita sebagai makhluk sosial harus memanfaatkan diri kita untuk kebaikan manusia lainnya, karena dalam religius sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat untuk orang lain di dalam bingkai keimanan dan ketakwaan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Sejak zaman dahulu bangsa ini memperjuangkan apa yang menjadi tujuan bangsa ini, banyak para leluhur-leluhur kita, pahlawan-pahlawan kita,dan pemimpin-pemimpin besar yang gugur memperjuangkannya hingga titik darah penghabisan. Dilihat dari hal ini keharusan masyarakat keadilan sosial itu adalah suatu amanah daripada leluhur kita yang telah menderita, amanat daripada semua pahlawan-pahlawan, dan para pemimpin yang menjadikan inspirasi pemuda-pemudi bangsa ini untuk tetap berjuang melawan segala bentuk penjajahan di atas dunia. Demi menciptakan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bung Karno pernah menyitir ucapan seorang pemimpin besar bangsa lain yang berkata kepada pemuda dan pemudi “Hai, pemuda-pemudi, engkau pembina hari kemudian. Orang katakan bahwa engkau itu adalah pupuk hari kemudian. Jangan mau terima sebutan sekedar pupuk hari kemudian! Jangan terima! Kita bukan hanya sekedar pupuk hari kemudian. Tidak! Kami lebih daripada pupuk! Sebab di dalam kami tumbuh pula bibit, kami bukan sekedar pupuk, pupuk mati yang dimasukkan dalam tanah, kemudian tanah itu yang menjadi subur untuk membangkitkan kalbu kami, dada kami, roh kami, jiwa kami bergelora; di dalam jiwa kami tumbuh pula masyarakat yang baru itu; di dalam jiwa kami tumbuh segala apa yang menjadi cita-cita bangsa”.

Filsafat Pancasila Sila IV “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmad kebijaksanaan dalam permusyawaratan keadilan”


Demokrasi atau yang kita sering menyebutnya kedaulatan rakyat, adalah hanya sekedar alat untuk mencapai tujuan. Teknis tujuannya adalah suatu bentuk masyarakat yang mempunyai bentuk sesuatu hal, seperti masyarakat kapitalis, masyarakat sosialistis, dan masyarakat lainnya. Alat untuk mencapai tujuan dari brntuk masyarakat tidak selalu dengan memakai demokrasi; misalnya kaum Hitleris, kaum nasional-sosialis berpendapat bahwa untuk mencapai tujuan masyarakat mereka yang menjadi impian bagi kaum mereka bukanlah demokrasi, tetapi nasionailsme-sosialime yang lebih kita kenal sebagai Nazi (National Sozialismus)yang pada hakekatnya adalah fasisme diktatur yang mengarah pada Chauvinisme (Nasionalisme berlebihan) jadi, baik demokrasi maupun fasisme atau Nazi buatan Hitler walaupn sebenarnya tidak menggambarkan sosialisme dan nasional, tetapi Hitler mengatakan ia punya fasisme nasionalis dan sosialisme. Baik demokrasi maupun Nazi adalah alat untuk mencapai impian atau tujuan dari suatu bentuk masyarakat. Tetapi di dalam pemikiran kita dan lebih tegasnya lagi di dalam cara keyakinan dan kepercayaan bangsa ini, kedaulatan bukanlah hanya sekedar alat belaka. Kita yang mempunyai satu jiwa, pikiran dan perasaaan, bukan hanya sekedar teknis, melainkan juga secara kejadian, secara psikologis nasional, dan secara kekeluargaan, demokrasi adalah satu kepercayaan, satu keyakinan dalam usaha mencapai bentuk masyarakat yang kita cita-citakan. Bahkan dalam perilaku budaya masyarakat kita memakai asas kebersamaan yang selalu berdiri di atas dasar kekeluargaan, di atas dasar musyawarah untuk mencapai mufakat, di atas demokrasi untuk mencapai tujuan, di atas dasar kedaulatan rakyat. Kita percaya bahwa sejak dahulu kehidupan kekeluargaan tidak akan berjalan dengan sempurna jika tidak dengan menjalankan dasar kedaulatan rakyat atau demokrasi atau musyawah. Di alam masyarakat atau kenegaraan kita mempunyai keyakinan bahwa segala sesuatu yang mengenai hidup bermasyarakat harus di dasarkan atas dasar kekeluargaan, demokrasi, kedaulatan rakyat, sehingga bagi kita, di alam pemikiran dan perasaan, dan di alam kejadian kita, demokrasi bukanlah hanya sebagai suatu alat teknis melainkan juga adalah suatu kepercayaan, satu keyakinan. Maka dari itu bagi bangsa Indonesia, demokrasi atau kedaulatan rakyat mempunyai corak nasional tersendiri, satu corak berdasarkan nilai-nilai budaya luhur bangsa ini, satu corak kepribadian, dam tidak perlu sama dengan corak demokrasi yang dipergunakan oleh bangsa-bangsa lain sebagai teknis. Kita harus menegaskan dan berani mengatakan : Janganlah demokrasi kita itu adalah jiplakan. Janganlah demokrasi yang kita jalankan itu adalah demokrasi dari bangsa asing seperti, Amerika Serikat, Eropa, Cina, dan negara lainnya. Sebagian bangsa kita yang pikirannya masih tersangkut (terjajah) dengan dunia barat, yang belum berdiri diatas kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Mereka tak akan bisa menangkap esensi daripada demokrasi itu sendiri.

Jika kita melihat dari perjalanan sejarah, dimana Hitler dengan Nazinya, bangsa Eropa dan Amerika Serikat dengan kapitalismenya dan kaum buruh dengan Marxismenya, demokrasi adalah satu ideologi politik daripada salah satu periode, satu bukti bahwa kesadaran manusia dalam berdemokrasi dalam alam pikiran dan politiknya. Seperti kita ketahui banyak intrik yang terjadi antara politik mereka sehingga mereka lupa dengan esensi demokrasi itu sendiri. Mereka membuat peperangan dimana-mana, membuat kehancuran dimana-mana. Mereka saling menunggalkan kebenaran mereka masing-masing. Kapitalisme ingin tumbuh subur dengan cara produksi mempergunakan tenaga buruh, yang buruh ini membuat barang yang lain yang lebih berharga daripada sebelumnya. Kapitalisme memakai sistem Laba dalam produksinya, Contohnya jika tepung dan gula sebagai modal dibeli dengan harga Rp.100.00 kemudian diolah menjadi kue dengan penjualan keseluruhannya Rp.200,00, maka laba keuntungannya adalah Rp.100,00. Ini Rp.50,00 masuk kantong sang kapitalis, sebagian Rp.50,00 masuk kantong sang buruh. Jika di negara yang politik dan ekonominya didominasi oleh kaum kapitalis maka pembagian laba untungnya mungkin lebih banyak ke kaum kapitalis atau pengusahanya yang menindas kaum buruhnya dengan hasil keringatnya yang dibayar murah, dan begitu juga sebaliknya jika, di negara yang poltik dan ekonominya didominasi oleh kaum buruh maka laba untungnya kaum buruhlah yang diuntungkan, para pengusaha akan makin kecil dan kecil. Disanalah terjadi ketidakseimbangan ekonomi yang berdasarkan pada kemakmuran rakyat banyak. Dengan kejadian itu kita bisa lihat segala cacat-cacat dari demokrasi bangsa asing, kitalah yang sebaiknya sebagai amanat penderitaan daripada bangsa Indonesia yang memikul kewajiban untuk menyelenggarakan suatu masyarakat yang berdemokrasi dengan menaruhkan segala sesuatu diatas kepribadian bangsa Indonesia sendiri, yang bukan hanya sekedar alat teknis, tetapi satu alam jiwa pemikiran dan perasaan kita. Dan bukan keberpihakakan kepada kaum pengusaha, maupun kaum buruh, sehingga dapat menyelenggarakan apa yang menjadi amanat penderitaan daripada rakyat banyak yaitu suatu masyarakat yang adil dan makmur.

Filsafat Pancasila sila III “Persatuan Indonesia”


Pancasila adalah dasar negara, hal ini ditegaskan oleh Bung Karno karena ada pihak-pihak yang mengatakan bahwa paham atau pendirian kebangsaan tidaklah perlu adanya. Contohnya, di kalangan kaum Internasionalis Marxis – menurut Bung Karno – yang kurang mengerti betul tentang Marxisme. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa kebangsaan atau paham kebangsaan adalah salah, karena bertentangan dengan paham internasionalisme, bertentangan dengan persaudaraan umat manusia sedunia. Paham ini terkadang membuat peperangan-peperangan, yang akhirnya justru meniadakan kata “persaudaraan” itu sendiri. Demikianlah, maka mereka yang belum mendalami lebih dalam pengertian tentang Marxisme itu ada yang menentang paham atau pendirian kebangsaan.

Pada dasarnya manusia diciptakan berbagai macam suku, budaya, dan bangsa, adalah satu kenyataan yang tak bisa dibantah oleh siapapun juga. Berdasarkan fakta ini kita tidak boleh tidak mengakui adanya bangsa dan kebangsaan. Apalagi jika ada dari golongan-golongan agama yang berkata “agama tidak mau menerima paham kebangsaan itu, dalam agama tidak ada yang membedakan manusia kecuali iman dan taqwanya kepada Tuhan YME”. Maka dari itu Bung Karno menegaskan bahwa Pancasila adalah dasar negara, disini kita harus melihat perbedaan yang tegas antara “Negara” dan “Agama”. Negara hanyalah sekumpulan bangsa atau manusia yang berada di batas wilayah tertentu denang pemerintahannya sendiri di dunia ini dan tidak ada negara ketika di akhirat nanti, di akhirat yang membedakan manusia hanyalah iman dan taqwanya kepada-NYA. Agama menegaskan hal itu, tetapi janganlah kita melupakan di dalam ajaran agama juga menegaskan bahwasanya manusia di dunia memang diciptakan berbeda-beda golongan dan jenis dari berbagai macam suku dan bangsa. Dunia adalah lisensi atau ujian untuk manusia apakah manusia berhak mendapatkan surga atau neraka-Nya. Jika amalan kita baik surgalah yang didapat, jika amalan buruk nerakalah yang didapat. Secara garis besar ajaran agama itu demikian adanya. Dan itu adalah hak mutlak yang dimiliki Tuhan yang meluluskan atau tidaknya kita sebagai hamba-Nya. Negara tidak bisa diorganisirkan dilangit atau di akhirat, negara tidak bisa diorganisirkan tidak diatas suatu batas wilayah, tidak dengan manusia-manusia yang berdiam diatasnya, tidak boleh tidak dengan adanya sisitem pemerintahan, dan tidak boleh tidak dengan tujuan negaranya. Kita semua dalam NKRI yang kita cintai ini memiliki semuanya. Dan tujuan kita adalah realisasi daripada Pancasila.

Untuk mencapai tujuan demi keadilan sosial bangsa Indonesia harus menggalang persatuan dan kesatuan bangsa dalam keberagaman suku dan budaya yang kita miliki. Bung Karno sering menegaskan bahwa Pancasila adalah satu-satunya alat pemersatu bangsa Indonesia. Paham atau ideologi apapun tidak akan cocok jika diambil dan diterapkan mentah-mentah untuk bangsa ini. Paham-paham yang ada di dunia jika kita ambil baiknya akan bersinergi dengan Pancasila. Seperti paham Nazi misalnya, nasionalisme mereka bisa kita ambil baiknya untuk menumbuhkan paham kebangsaan, tetapi kita tidak boleh berlebihan dengan melupakan dunia Internasionalisme, nasionalisme tidak akan tumbuh subur jika tidak berada di ladangnya internasionalisme, disinilah “Pancasila” berperan untuk menyeimbangkan bahwa nasionalisme kita bukanlah seperti chauvinismenya para pegikut Adolf Hitler. Begitu pula dengan paham-paham yang lainnya. Paham apapun kita harus sinkronisasikan dengan Pancasila agar tidak terjadinya kekacauan politik di NKRI ini.

Pancasila sebagai pemersatu tak dapat dipisahkan dari perjuangan rakyat Indonesia yang berpulu-puluh tahun memperoleh kemerdekaan ini. Dulu sebelum kemerdekaan ketika kita masih berjuang melawan penjajah, ketika kita masih terjajah secara fisik, banyak pahlawan-pahlawan yang berjuang dengan melalui berbagai macam peperangan dan kemudian gagal mengusir bangsa penjajah keluar dari tanah air kita. Penyebab satu-satunya kegagalan saat itu karena kita tidak bisa mempersatukan bangsa Indonesia dari sabang sampai merauke. Kita ingat perjuangan Pangeran Diponegoro, betapa hebatnya, betapa patriotisme dan heroismenya perjuangan beliau, begitu juga dengan perjuangan pahlawan lainnya seperti Sultan Agung Hanjarakusuma, Sultan Hasanudin, Teuku Umar,Cik di Tiro, Surapati, dan pahlawan lainnya yang sampai detik ini menginspirasi bangsa ini untuk tetap berjuang mempertahankan NKRI ini. Perjuangan mereka tidaklah sia-sia, tetapi pada saat itu kenapa mereka gagal mencapai tujuan apa yang hendak dicapainya,yaitu negara yang merdeka? Mereka gagal karena perjuangan mereka hanya dijalankan oleh sebagian rakyat Indonesia di daerah tertentu saja. Tetapi tatkala bangsa Indonesia dapat mempersatukan bangsanya dari sabang sampai merauke, gugurlah semua bentuk penjajahan fisik dan berkibarlah sang saka Merah Putih dengan gagahnya.

Di zaman kemerdekaan ini sebenarnya kita masih terjajah secara pemikiran, dan inilah yang harus diperangi oleh bangsa ini demi mewujudkan tujuan untuk mencapai kemakmuran dan keadilan berdasarkan Pancasila. Revolusi kita belum selesai, di negara yang telah merdeka ini bangsa kita masih terjajah secara mental dan pemikiran. Bangsa ini masih tidak percaya diri ketika menghadapai bangsa asing yang seolah-olah lingkungan dunia mengatakan bahwa bangsa asing terlihat lebih intelek dengan bangsa kita. Dan lebih buruknya lagi banyak diantara bangsa kita yang menaruh syak wasangka yang buruk diantara bangsanya sendiri. Banyak dari bangsa kita yang terjajah secara pemikirannya mengatakan bahwa bangsa kita adalah bangsa pengemis, bangsa maling, bangsa kuli. Sekarang kita harus menegaskan disini “bangsa siapa yang membeli tanah dengan harga yang murah di desa-desa di negeri kita?, bangsa siapa yang memeras keringat kaum buruh sehingga kering kemudian dibayar dengan murah?, bangsa siapa yang memanfaatkan kerakusan pejabat korup sebagai kambing hitam untuk menjatuhkan harga diri dan martabat bangsa ini?”. Disini kita harus cerdas melihat segala sesuatunya. Kita harus meneruskan jalannya revolusi bangsa ini dengan menghentikan penjajahan didalam diri dan oleh diri kita sendiri, karena sesungguhnya musuh terbesar manusia adalah dirinya sendiri. Jika kita bisa menggalang persatuan dan kesatuan dengan Pancasila sebagai alat pemersatunya, kita yakin bahwa siapapun dari bangsa apapun tidak akan bisa memecah belah bangsa ini. Sekali lagi jika kita ingin mencapai apa yang kita cita-citakan tidak boleh tidak bersatu dengan Pancasila sebagai alat pemersatunya. Kita harus bersatu dan bersama-sama menggali kembali nilai-nilai Pamcasila yang –menurut saya- telah terkubur lagi karena pemikiran bangsa ini yang mudah terhasut dan terbawa arus oleh isu globalisasi, sehingga lupa dengan nilai-nilai dari budayanya sendiri. Bahkan cenderung malu mengakui kebudayaannya sendiri. Dan berbangga dengan kebudayaan asing yang justru menghancurkan nilai-nilai luhur budayanya sendiri. Isu Hak Asasi Manusia yang merupakan isu globalisasi adalah contoh nyata yang mempengaruhi bangsa ini, kita lihat kasus HAM yang ada di Negara Barat tentang pemukulan orang tua terhadap anak perempuannya, sang bapak beralasan memukul anaknya karena si anak perempuannya pulang dengan kekasihnya dalam keadaan mabuk karena minuman keras, sang Bapak kesal dan cemburu lalu kemudian marah sehingga tak kuasa menahan emosi dan dengan refleks tangan bergerak melayang ke arah si anak perempuannya. Lalu kemudian si anak perempuannya melapor ke pengadilan HAM ditempat, dan kemudian sang bapak dipenjara akibat perbuatannya. Akhirnya para orang tua tidak bisa berbuat apa-apa melihat anaknya yang terjun ke dunia hitam. Bayangkan jika ini terjadi di bangsa kita, dimana kedudukan orang tua tak lagi patut dihargai oleh anaknya. Apakah budaya hedonisme yang seperti yang kita inginkan, apakah jasa orang tua yang mengandung dan membesarkan anaknya tidak lagi berharga?. Jika ini sampai terjadi di negeri ini kedudukan sakral antara orang tua dan anak yang penuh kasih dan sayang akan tidak berarti lagi, perlahan budaya yang berbudi luhur akan hilang dan kita mengarah ke kebebasan yang sebebas-bebasnyanya. Di titik inilah kita bisa mengambil nilai-nilai dari Pancasila, dalam Pancasila intinya adalah keadilan sosial, jika ingin menghargai orang kita harus menghargai orang lain, jika anak ingin dihargai orang tua, hargailah orang tua, begitu juga sebaliknya. Dalam hidup ini apa yang kita tanam itulah yang kita tuai. Kita tanam kebaikan maka kebaikan yang kita dapat, kita tanam keburukan maka keburukanlah juga yang kita dapati. Dengan menghargai bangsa dan budaya sendiri maka dengan sendirinya Karakter Nasional Bangsa Indonesia akan terbentuk secara baik. Jika semua sudah terbentuk dan terpatri dalam hati sanubari bangsa ini, Orang Jawa, orang Sunda, orang Aceh , orang Papua, orang Kalimantan ,orang Bali, orang Padang, dan orang-orang dari daerah manapun dari suku dan bangsa apapun yang berada di wilayah NKRI ini akan merasa satu jiwa, satu bahasa, satu tanah air dan satu bangsa, yaitu BANGSA INDONESIA. Bersama-sama kita akan mencuci sang saka Merah Putih yang telah terkotori oleh tangan-tangan kita sendiri, dan kita kibarkan kembali untuk masa depan anak-cucu kita.

Minggu, 03 Februari 2008

Filsafat Pancasila Sila II "Kemanusiaan yang adil dan beradab"


Sejak awal zaman kehidupan, manusia adalah makhluk sosial. Manusia tak dapat hidup tanpa manusia lainnya. Sejak dahulu bangsa kita mengenal istilah “gotong-royong” dimana jika ada yang berat dipikul bersama-sama pastilah terasa lebih ringan. Dengan bergotong-royong untuk kebaikan dan keadilan kita bisa merasakan kekuatan rasa kemanusiaan dan prikemanusiaan yang sejati, seperti yang dilambangkan oleh sila ke-2 dengan perumpamaan sebuah rantai yang kokoh dan tiada putusnya rantai kemanusiaannya itu. Manusia beranak, anak beranak lagi, kemudian anak beranak lagi, ini rantai yang tiada putusnya dari zaman ke zaman. Bukan sekedar demikian, rantai yang dilukiskan diatas perisai Sang Garuda Pancasila ini juga melukiskan hubungan antara bangsa dengan bangsa dimana kita sebagai Bangsa Indonesia adalah bagian dari dunia yang terdiri dari bangsa-bangsa. Kita adalah bagian dari keluarga dunia yang antara bangsa yang satu adalah merupakan saudara bagi bangsa yang lainnya. Pada hakekatnya pun adalah satu rantai yang tiada putusnya. Tiada manusia dapat hidup bersendirian tanpa berdampingan, demikian pula dengan bangsa, sebuah bangsa tak dapat hidup sendiri, bangsa hanyalah dapat hidup di dalam masyarakat umat manusia di dalam masyarakatnya bangsa-bangsa.

Pada awalnya memang tidak ada yang dinamakan bangsa-bangsa itu bangsa adalah hasil dari pertumbuhan kehidupan manusia. Zaman dahulu sekali tidak ada yang dinamakan bangsa Indonesia, tidak ada yang dinamakan bangsa Jerman, tidak ada yang dinamakan bangsa Jepang, tidak ada yang dinamakan bangsa Amerika, dan demikian juga bangsa-bangsa lainnya. Dahulu di Amerika itu sebelum dinamakan bangsa Amerika, disana terdapat suku pribumi yang merupakan penduduk asli benua Amerika yang dinamakan suku Indian ; ada suku Sioux, ada suku Apache. Beragam suku Indian itu belum berbentuk sebuah bangsa. Tetapi kemudian setelah ditemukannya benua Amerika oleh pelaut Eropa maka benua itu diserbu dan diduduki oleh emigran-emigran Eropa, emigran-emigran Jerman, emigran-emigran dari Italia, Norwegia, dari Irlandia, dan berbagai macam negeri lainnya. Lalu emigran-emigran dari berbagai negeri ini bersatu, percampuran manusia-manusia dari berbagai negeri inilah yang dinamakan sebagai bangsa Amerika. Melihat dari gambaran diatas, paham bangsa adalah hasil daripada satu pertumbuhan manusia dari hubungan intim laki-laki dan perempuan yang membentuk sebuah kelompok keluarga, kemudian berkembang membentuk kelompok suku-suku, dan kemudian membentuk kelompok bangsa-bangsa. Inilah rantai yang kuat dari laki-laki dan perempuan.

Zaman dahulu ketika belum ada hukum dimana pada zaman itu berlaku hukum rimba yang disebut juga zaman homohomoni lupus. Belum ada yang dinamakan perkawinan, kehidupan suami-istri seperti sekarang. Kehidupan dalam zaman itu campur aduk dan semrawut. Hubungan anatar rantai laki-laki dengan perempuan semau-maunya dan sebebas-bebasnya, sama dengan binatang di alam rimba. Ada, waktu-waktu hubungan pasangan yang singkat dan hanya sebentar, sebagaimana juga anjing serigala didalam waktu ia birahi sebentar selalu anjing betina A sebentar selalu dengan anjing perempuan B, tetapi beberapa pekan putus, nanti sudah berhubungan lagi dengan anjing lain. Sebentar lagi berpasangan, tapi kemudian putus hubungan itu, pindah kepada wanita anjing lain atau pindah kepada pria anjing lain. Itulah gambaran kehidupan manusia sebelum ada hukum. Setelah ada hukum khususnya dalam agama, didalam agama kaum Ibu ditinggikan derajatnya sebagai Ibu, bahkan dalam agama dinyatakan bahwa “Surga ada di telapak kaki Ibu”. Kaum wanitalah yang pertama kali membuat hukum, yaitu Hukum Keturunan. Pada zaman homohomoni lupus, tidak bisa dibuktikan anak itu bapaknya siapa. Tetapi jelaslah sudah Ibunya, seorang wanita yang melahirkannya. Ketika para lelaki pergi berburu mencari binatang, wanitalah yang karena ingin meneduhkan anaknya yang ia cintai, ia mendapatkan ilmu membuat gubuk yang terbuat dari daun-daunan, kemudian berkembang dengan menggunakan bahan-bahan yang lebih baik. Wanita ini makin lama makin menjadi orang yang penting. Wanita ini makin lama makin menjadi produsen. Produksi makin lama didalam genggamannya. Ketika para lelaki berburu, wanita yang dengan akalnyalah yang bercocok tanam. Dialah yang memetik hasil tanaman untuk diberikan makan kepada anak-anaknya. Wanitalah juga yang menyimpan ikan-ikan di dalam periuk, dia yang membagikan ikan-ikan itu kepada anak-anaknya dengan adil. Maka akhirnya dialah yang menjadikan aturan-aturan, mengadakan hukum. Hukum yang kemudian dinamakan hukum matrilineal, hukum peribuan.

Setelah adanya hukum, manusia-manusia itu mengelompokkan dirinya dari suku-suku, kemudian menjadi bangsa-bangsa, maka duniapun yang sekarang akan semakin lama maikn menghilangkan batas-batas tajam antara bangsa dan bangsa. Inilah yang dikatakan Bung Karno dalam kursusnya sebagai paradox historis daripada abad yang kita alami. Historis paradox daripada abad-abad yang kita alami ialah politik kita melihat terjadinya bangsa-bangsa, terjadinya negara-negara nasional, terjadinya batas-batas yang melingkari bangsa-bangsa dan negara-negara nasional itu. Tetapi sebagai paradox daripada itu pertumbuhan sebagai akibat daripada perkembangan teknik terutama sekali, justru menghasilkan setapak demi setapak adanya batas-batas bangsa itu. Di satu pihak terjadinya negara-negara nasional dan bangsa-bangsa, di lain pihak perhubungan yang makin rapat antara manusia dan manusia, dan antara bangsa dengan bangsa. Maka oleh karena itu bangsa yang tergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ini pun makin didalam tekad kita ini tidak hanya ingin mengadakan satu bangsa Indonesia yang hidup dalam masyarakat adil dan makmur. Tetapi tidak hanya demikian, disamping itu kita juga tidak lupa dengan saudara kita bangsa lain yang merupakan bagian dari keluarga dunia yang kita bekerja keras pula dan bergotong-royong untuk kebahagiaan seluruh umat manusia di dalam keluarga dunia.

Jumat, 11 Januari 2008

Rahasia huruf Jawa

Didalam huruf Jawa memang sepenuhnya adalah aksara. Tetapi dalam aksara ini ada makna yang terpendam tentang filosofi sikap Jawa, lewat sastra adiluhung, pada kawruh kearifan Sangkan paraning dumadi.

Sangkan paraning dumadi adalah pengertian hakiki tentang persatuan dan kesatuan yaitu dengan menyatunya roh kehidupan manusia dari mulai kelahiran dan kematian, menyatunya tubuh pada bumi dan roh pada maha roh. Maka dari itu persatuan dan kesatuanlah yang selalu menjadi kekuatan di Ibu pertiwi ini semenjak zaman dahulu kala.

Huruf Jawa terdiri dari 20 aksara, yang ketika dirangkai aksara itu akan bercerita.

“HA NA CA RA KA
DA TA SA WA LA
PA DA JA YA NYA
MA GA BA THA NGA”

Jika dirangkai menjadi hana caraka, data sawala, pada jayanya, maga bathanga.

Artinya sederhana, ada dua orang utusan yang saling bertengkar, kedua-duanya sama kuat dan akhirnya sama-sama mati.

Dari sini kita bisa pelajari bahwa didalam kehidupan kita sebagai makhluk social, baik dari lingkungan keluarga, organisasi, perusahaan, bernegara, maupun Hubungan Internasional, satu kepemimpinan adalah syarat mutlak jika menginginkan perdamaian, jika ada dua kepemimpinan maka akan datang perpecahan yang membawa kehancuran semua pihak.

Dalam bentuk tembang matra Dhandanggula aksara-aksara Jawa bisa diuraikan dengan jelas sehingga dengan jelas membentuk kearifan sangkan paraning dumadi.

“Ha-sal dzat Hyang Suksmajati nrangi
(muasal zat Ilahi adalah sukma yang menerangi)
Na-ndho daya prana gung amertha
(menimbun kekuatan nafas yang membentuk kehidupan yang agung)
Ca-hya cipta budi kabeh
(Cahaya cipta budi seluruhnya)
Ra-sa jajag tyas anggung
(Rasa inti dalam hati)
Ka-rsa lancer manrus ngugemi
(Niat yang terus lancar dengan pegangan yang teguh)
Da-den nuhu ucapnya
(Dengan ucapan yang sejati)
Ta-sah amemanya
(Selalu berbuat baik)
Sa-rwindra ngibadah kajat
(Berpikir untuk tetap ibadah)
Wa-ntu dahat mangunah Allah memundhi
(Meraih sesuatu karena keyakinan akan Allah)

La-ntip ruming nestapa
(Bijak terhadap kesusahan)

Pa-ndomira condhong anggung eling
(pegangannya selalu eling)
Dha-mang catur sungkan paran kwawa
(Mengerti akan hakikat asal mula)
Ja-lirwa ing saan case
(Jangan lalai pada kebajikan)
Ya ngyayogya tinuntun
(Ya pantas dilalui dengan tuntunan)
Nya-ang karya tamaning dumadi
(Ke arah karya yang bijak)
Ma-rma tinata mbaka
(Ditata dengan baik)
Ga-yuh hanyadarum
(Semua yang didambakan)
Ba-ka adi tyas sakeca
(Akan menghasilkan kesenangan)
Tha-rik janma eling jatu rukhani
(Pola pikir insani tentang kesejatian rohani)
Nga-ngkah ningrat Hyang
(Mencapai tingkat tertinggi menyatunya dengan Tuhan)”

Filsafat Pancasila Sila I “Ketuhanan Yang Maha Esa”


Sejak dahulu dari zaman ke zaman Bangsa kita adalah Para Pencari Tuhan dan dalam perjalanan manusia mencari Tuhannya dibagi menjadi lima fase jika disesuaikan dengan perkembangan dari zaman ke zaman yang seiring dengan perkembangan kondisi alam, akal dan budaya bangsa Indonesia, berikut lima fase tersebut :

Fase pertama : Pada zaman ini bangsa kita takjub akan matahari, guntur, gunung, dsb, maka akal mereka berkata “oh inilah Tuhan”,munculah Dewa Matahari, Dewa Guntur, dsb, jadi apa yang membuat mereka takjub itulah yang mereka anggap sebagai Tuhan.

Fase kedua : Bangsa kita mulai memasuki zaman peternakan, mereka lihat sapi begitu banyak manfaatnya, mereka melihat gajah begitu besar dan menakjubkan, sehingga akal mereka berkata “oh inilah Tuhan”, bahkan sampai sekarang masih ada di Bali yang memuja Sapi, dan gajah dijadikan salah satu Dewa di India. Akal mereka mengatakan itulah Tuhan bagi mereka.

Fase ketiga : Bangsa kita memasuki zaman pertanian, ketika membuang biji padi tumbuh padi, ketika membuang biji buah tumbuh buah, akal mereka berpikir itu adalah sebuah keajaiban dari Tuhan, lalu bayangan Tuhan mereka adalah seorang Dewi yang memberikan kehidupan, kemudian ada Dewi Sri dan dewi-dewi lainnya sebagai gambaran Tuhan mereka.

Fase keempat : Ketika mereka sudah terbiasa berternak dan bercocok tanam dengan dengan baik dan benar, jadi akal mereka mengatakan “oh Tuhan itu ghaib, tak dapat dilihat, tak dapat diraba, hanya dapat dirasakan dalam hati”

Fase kelima : Zaman ini telah memasuki zaman industrialisasi, pada zaman ini manusia bisa menciptakan guntur dengan tekhnologinya, bahkan bisa mengirim suara dari Amerika ke Indonesia sepersekian detik, bayi tabung bisa dibuat oleh manusia, “aku bisa ini, aku bisa itu, apa yang aku tidak bisa!?” maka “AKULAH TUHAN” saat manusia merasa bisa mengendalikan segalanya saat manusia merasa paling benar saat itulah mereka menuhankan diri mereka sendiri, menuhankan benda-benda ciptaanya sendiri, sehingga manusia akan diperalat oleh alat yang dibuatnya sendiri.

Jadi yang membedakan Tuhan adalah akal manusia, dan dengan seiringnya perkembangan zaman manusia semakin belajar dan belajar sehingga akalnya pun berkembang dan merubah pandangan akal tentang Ketuhanan, tetapi Esensinya tetap Keesaan Tuhan. Karena Tuhan adalah Maha Segalanya, Tuhan adalah segala pusat ilmu alam semesta, Tuhan adalah kebenaran, dan kebenaran tak dapat ditunggalkan oleh manusia karena kebenaran hanyalah milik-NYA. Dan pada titik klimaks di fase kelima ini seharusnya kita sadar bahwa kebenaran hanyalah milik Tuhan dan segala kesalahan itu adalah milik kita sebagai manusia yang lemah dihadapan-NYA. Tuhan tetapi dalam perjalanannya justru semakin jauh dari Tuhan, karena akal, pikiran, dan hati manusia sesungguhnya adalah hawa nafsu yang akan selalu menyesatkan dan menipu manusia itu sendiri jika manusia selalu mengikuti hawa nafsunya itu adalah suatu hal yang mustahil bagi seorang manusia untuk mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya. Tetapi manusia yang sabar,tawakkal, dan ikhlas kepada Tuhan yang maha esa maka manusia akan menemukan ketentraman dan kedamaian dalam dirinya karena akal, hati dan pikirannya akan dituntun langsung oleh Tuhan yang Maha Esa menuju jalanNya. Ini berarti Manusia tak boleh berputus asa dan harus terus berusaha dan bekerja dalam hidupnya untuk mewujudkan apa yang menjadi yang terbaik dalam hidupnya, kesempurnaan dalam hidupnya yaitu sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Kita adalah wayang dan Tuhan adalah Dalangnya, dengan sabar,tawakal, dan ikhlas Tuhan akan mendekatkan kita kepadaNya. Dengan terus berusaha menjadi manusia Insan Alkamil, dengan sabar,tawakkal.dan ikhlas kepadaNYA maka akan membawa kita ke jalan kebenaranNYA.