RAJAWALI SAKTI

RAJAWALI SAKTI

PANCASILA DAN BUTIR-BUTIRNYA

PANCASILA

1. Belief in the one and only God (Ketuhanan yang Maha Esa)
2. Just and civilized humanity (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab)
3. The unity of Indonesia (Persatuan Indonesia)
4. Democracy guided by the inner wisdom in the unanimity arising out of deliberations amongst representatives (Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan)
5. Social justice for the whole of the people of Indonesia (Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia)

Explanatory Points (Butir-Butir Pancasila)

Belief in the one and only God

• To believe and to devote oneself to one God according to his/her own religions and beliefs in the principle of just and civilized humanity (Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab)
• To respect and cooperate with people of different religions and belief in order to achieve harmonious living (Hormat dan menghormati serta bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup)
• To respect freedom of performing religious duties according his/her own religions and beliefs (Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing)
• To not force religions or beliefs onto others (Tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaannya kepada orang lain)

Just and civilized humanity

• To conform with equal degree, equal rights, and equal obligations between individuals (Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia)
• To love human being (Saling mencintai sesama manusia)
• To develop tolerant attitude (Mengembangkan sikap tenggang rasa)
• Not to be disrespectful to others (Tidak semena-mena terhadap orang lain)
• To hold high the values of humanity (Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan)
• To do humanity works (Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan)
• To be brave in defending truth and justice (Berani membela kebenaran dan keadilan)
• Indonesians should consider themselves as part of International Community, and hence must develop respect and cooperation with other nations (Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari masyarakat Dunia Internasional dan dengan itu harus mengembangkan sikap saling hormat-menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain)

The unity of Indonesia

• To protect the United Nation of the Republic of Indonesia's unity (Menjaga Persatuan dan Kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia)
• Willing to sacrifice oneself for the sake of the country and nation (Rela berkorban demi bangsa dan negara)
• To love the motherland (Cinta akan Tanah Air)
• To be proud for being part of Indonesia (Berbangga sebagai bagian dari Indonesia)
• To be well-socialised in order to keep the nation's unity in diversity (Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika)

Democracy guided by the inner wisdom in the unanimity arising out of deliberations amongst representatives

• To prioritize on national and community interests (Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat)
• Not forcing one's will to other people (Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain)
• To prioritize on the culture of unanimous agreement in public decision making (Mengutamakan budaya rembug atau musyawarah dalam mengambil keputusan bersama)
• To keep the discussion until a consensus or an unanimous consent is reached embodied by the spirit of kinship (Berrembug atau bermusyawarah sampai mencapai konsensus atau kata mufakat diliputi dengan semangat kekeluargaan)

Social justice for the whole of the people of Indonesia

• To be just toward fellow people (Bersikap adil terhadap sesama)
• To respect other people's rights (Menghormati hak-hak orang lain)
• To help one another (Menolong sesama)
• To cherish other human being (Menghargai orang lain)
• To do useful tasks for common good and for public behalf (Melakukan pekerjaan yang berguna bagi kepentingan umum dan bersama)

Atas nama BANGSA INDONESIA

Atas nama BANGSA INDONESIA

Rabu, 27 Februari 2008

Filsafat Pancasila Sila V “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”


Apa yang menjadi cita-cita dan tujuan Pancasila terdapat di sila ke-5 ini yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Cita-cita dengan keadilan sosial untuk membentuk suatu masyarakat adil dan makmur dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila adalah penyeimbang diantara Declaration of Independence dan Manifesto Komunis yang selalu membuat pertentangan-pertentangan fisik maupun Ideologi di dunia. Dari yang mereka yang menganut paham Ideologi Declaration of Independence telah melahirkan kaum kapitalis, pengusaha-pengusaha, dan dari mereka yang berpaham manifesto komunis melahirkan kaum komunis, sosialis, dan kaum buruh yang sangat terkenal dengan ajaran Marxismenya. Jika dalam negara yang didominasi oleh kapitalis maka keberpihakkan ekonomi menguntungkan kaum kapitalis dan pengusaha, sehingga menyebabkan ketidak adilan dari kaum buruh. Demikian pula adanya jika di sebuah negara yang didominasi kaum komunis atau kaum buruh, maka sistem perekonomian yang adapun terlalu memihak ke kaum buruh dan dalam keadaan ini, pihak yang dirugikan adalah pihak pengusaha. Selalu ada ketidakpuasan dalam penegakan keadilan dalam segala hal. Bagi kita bangsa Indonesia tidaklah sesuai sistem-sistem yang berdasarkan Ideologi-ideologi di atas. Satu-satunya yang cocok untuk bangsa ini adalah “Pancasila”, karena ia digali dari budaya lokal dan kearifan lokal selama berabad-abad tahun kebelakang oleh The Founding Father bangsa ini.

Pancasila hadir untuk menyelenggarakan bentuk masyarakat yang adil dan makmur, untuk menyelenggarakan sosialisme ala Indonesia. Bapak Presiden R.I yang kedua yaitu Bapak Soeharto pernah bertanya kepada bung Karno sewaktu bung Karno menjelaskan Revolusi Indonesia “Masyarakat Pancasila itu masyarakat yang bagaimana? Masyarakat yang sosialistis, masyarakat yang religius, atau masyarakat yang kapitalistis, liberalistis? Bagaimana?”. Bung Karno menjawab, “Bukan. Tetapi masyarakat yang sosialistis-religius. Masyarakat Pancasila adalah masyarakat yang sosialistis-religius”. Dan sebagai masyarakat sosialistis religius, bukan hanya masyarakat sosialisme, karena ada sosialisme tidak mengakui adanya Tuhan. Dalam religius dimana kita sebagai makhluk sosial harus memanfaatkan diri kita untuk kebaikan manusia lainnya, karena dalam religius sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat untuk orang lain di dalam bingkai keimanan dan ketakwaan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Sejak zaman dahulu bangsa ini memperjuangkan apa yang menjadi tujuan bangsa ini, banyak para leluhur-leluhur kita, pahlawan-pahlawan kita,dan pemimpin-pemimpin besar yang gugur memperjuangkannya hingga titik darah penghabisan. Dilihat dari hal ini keharusan masyarakat keadilan sosial itu adalah suatu amanah daripada leluhur kita yang telah menderita, amanat daripada semua pahlawan-pahlawan, dan para pemimpin yang menjadikan inspirasi pemuda-pemudi bangsa ini untuk tetap berjuang melawan segala bentuk penjajahan di atas dunia. Demi menciptakan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bung Karno pernah menyitir ucapan seorang pemimpin besar bangsa lain yang berkata kepada pemuda dan pemudi “Hai, pemuda-pemudi, engkau pembina hari kemudian. Orang katakan bahwa engkau itu adalah pupuk hari kemudian. Jangan mau terima sebutan sekedar pupuk hari kemudian! Jangan terima! Kita bukan hanya sekedar pupuk hari kemudian. Tidak! Kami lebih daripada pupuk! Sebab di dalam kami tumbuh pula bibit, kami bukan sekedar pupuk, pupuk mati yang dimasukkan dalam tanah, kemudian tanah itu yang menjadi subur untuk membangkitkan kalbu kami, dada kami, roh kami, jiwa kami bergelora; di dalam jiwa kami tumbuh pula masyarakat yang baru itu; di dalam jiwa kami tumbuh segala apa yang menjadi cita-cita bangsa”.

Filsafat Pancasila Sila IV “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmad kebijaksanaan dalam permusyawaratan keadilan”


Demokrasi atau yang kita sering menyebutnya kedaulatan rakyat, adalah hanya sekedar alat untuk mencapai tujuan. Teknis tujuannya adalah suatu bentuk masyarakat yang mempunyai bentuk sesuatu hal, seperti masyarakat kapitalis, masyarakat sosialistis, dan masyarakat lainnya. Alat untuk mencapai tujuan dari brntuk masyarakat tidak selalu dengan memakai demokrasi; misalnya kaum Hitleris, kaum nasional-sosialis berpendapat bahwa untuk mencapai tujuan masyarakat mereka yang menjadi impian bagi kaum mereka bukanlah demokrasi, tetapi nasionailsme-sosialime yang lebih kita kenal sebagai Nazi (National Sozialismus)yang pada hakekatnya adalah fasisme diktatur yang mengarah pada Chauvinisme (Nasionalisme berlebihan) jadi, baik demokrasi maupun fasisme atau Nazi buatan Hitler walaupn sebenarnya tidak menggambarkan sosialisme dan nasional, tetapi Hitler mengatakan ia punya fasisme nasionalis dan sosialisme. Baik demokrasi maupun Nazi adalah alat untuk mencapai impian atau tujuan dari suatu bentuk masyarakat. Tetapi di dalam pemikiran kita dan lebih tegasnya lagi di dalam cara keyakinan dan kepercayaan bangsa ini, kedaulatan bukanlah hanya sekedar alat belaka. Kita yang mempunyai satu jiwa, pikiran dan perasaaan, bukan hanya sekedar teknis, melainkan juga secara kejadian, secara psikologis nasional, dan secara kekeluargaan, demokrasi adalah satu kepercayaan, satu keyakinan dalam usaha mencapai bentuk masyarakat yang kita cita-citakan. Bahkan dalam perilaku budaya masyarakat kita memakai asas kebersamaan yang selalu berdiri di atas dasar kekeluargaan, di atas dasar musyawarah untuk mencapai mufakat, di atas demokrasi untuk mencapai tujuan, di atas dasar kedaulatan rakyat. Kita percaya bahwa sejak dahulu kehidupan kekeluargaan tidak akan berjalan dengan sempurna jika tidak dengan menjalankan dasar kedaulatan rakyat atau demokrasi atau musyawah. Di alam masyarakat atau kenegaraan kita mempunyai keyakinan bahwa segala sesuatu yang mengenai hidup bermasyarakat harus di dasarkan atas dasar kekeluargaan, demokrasi, kedaulatan rakyat, sehingga bagi kita, di alam pemikiran dan perasaan, dan di alam kejadian kita, demokrasi bukanlah hanya sebagai suatu alat teknis melainkan juga adalah suatu kepercayaan, satu keyakinan. Maka dari itu bagi bangsa Indonesia, demokrasi atau kedaulatan rakyat mempunyai corak nasional tersendiri, satu corak berdasarkan nilai-nilai budaya luhur bangsa ini, satu corak kepribadian, dam tidak perlu sama dengan corak demokrasi yang dipergunakan oleh bangsa-bangsa lain sebagai teknis. Kita harus menegaskan dan berani mengatakan : Janganlah demokrasi kita itu adalah jiplakan. Janganlah demokrasi yang kita jalankan itu adalah demokrasi dari bangsa asing seperti, Amerika Serikat, Eropa, Cina, dan negara lainnya. Sebagian bangsa kita yang pikirannya masih tersangkut (terjajah) dengan dunia barat, yang belum berdiri diatas kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Mereka tak akan bisa menangkap esensi daripada demokrasi itu sendiri.

Jika kita melihat dari perjalanan sejarah, dimana Hitler dengan Nazinya, bangsa Eropa dan Amerika Serikat dengan kapitalismenya dan kaum buruh dengan Marxismenya, demokrasi adalah satu ideologi politik daripada salah satu periode, satu bukti bahwa kesadaran manusia dalam berdemokrasi dalam alam pikiran dan politiknya. Seperti kita ketahui banyak intrik yang terjadi antara politik mereka sehingga mereka lupa dengan esensi demokrasi itu sendiri. Mereka membuat peperangan dimana-mana, membuat kehancuran dimana-mana. Mereka saling menunggalkan kebenaran mereka masing-masing. Kapitalisme ingin tumbuh subur dengan cara produksi mempergunakan tenaga buruh, yang buruh ini membuat barang yang lain yang lebih berharga daripada sebelumnya. Kapitalisme memakai sistem Laba dalam produksinya, Contohnya jika tepung dan gula sebagai modal dibeli dengan harga Rp.100.00 kemudian diolah menjadi kue dengan penjualan keseluruhannya Rp.200,00, maka laba keuntungannya adalah Rp.100,00. Ini Rp.50,00 masuk kantong sang kapitalis, sebagian Rp.50,00 masuk kantong sang buruh. Jika di negara yang politik dan ekonominya didominasi oleh kaum kapitalis maka pembagian laba untungnya mungkin lebih banyak ke kaum kapitalis atau pengusahanya yang menindas kaum buruhnya dengan hasil keringatnya yang dibayar murah, dan begitu juga sebaliknya jika, di negara yang poltik dan ekonominya didominasi oleh kaum buruh maka laba untungnya kaum buruhlah yang diuntungkan, para pengusaha akan makin kecil dan kecil. Disanalah terjadi ketidakseimbangan ekonomi yang berdasarkan pada kemakmuran rakyat banyak. Dengan kejadian itu kita bisa lihat segala cacat-cacat dari demokrasi bangsa asing, kitalah yang sebaiknya sebagai amanat penderitaan daripada bangsa Indonesia yang memikul kewajiban untuk menyelenggarakan suatu masyarakat yang berdemokrasi dengan menaruhkan segala sesuatu diatas kepribadian bangsa Indonesia sendiri, yang bukan hanya sekedar alat teknis, tetapi satu alam jiwa pemikiran dan perasaan kita. Dan bukan keberpihakakan kepada kaum pengusaha, maupun kaum buruh, sehingga dapat menyelenggarakan apa yang menjadi amanat penderitaan daripada rakyat banyak yaitu suatu masyarakat yang adil dan makmur.

Filsafat Pancasila sila III “Persatuan Indonesia”


Pancasila adalah dasar negara, hal ini ditegaskan oleh Bung Karno karena ada pihak-pihak yang mengatakan bahwa paham atau pendirian kebangsaan tidaklah perlu adanya. Contohnya, di kalangan kaum Internasionalis Marxis – menurut Bung Karno – yang kurang mengerti betul tentang Marxisme. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa kebangsaan atau paham kebangsaan adalah salah, karena bertentangan dengan paham internasionalisme, bertentangan dengan persaudaraan umat manusia sedunia. Paham ini terkadang membuat peperangan-peperangan, yang akhirnya justru meniadakan kata “persaudaraan” itu sendiri. Demikianlah, maka mereka yang belum mendalami lebih dalam pengertian tentang Marxisme itu ada yang menentang paham atau pendirian kebangsaan.

Pada dasarnya manusia diciptakan berbagai macam suku, budaya, dan bangsa, adalah satu kenyataan yang tak bisa dibantah oleh siapapun juga. Berdasarkan fakta ini kita tidak boleh tidak mengakui adanya bangsa dan kebangsaan. Apalagi jika ada dari golongan-golongan agama yang berkata “agama tidak mau menerima paham kebangsaan itu, dalam agama tidak ada yang membedakan manusia kecuali iman dan taqwanya kepada Tuhan YME”. Maka dari itu Bung Karno menegaskan bahwa Pancasila adalah dasar negara, disini kita harus melihat perbedaan yang tegas antara “Negara” dan “Agama”. Negara hanyalah sekumpulan bangsa atau manusia yang berada di batas wilayah tertentu denang pemerintahannya sendiri di dunia ini dan tidak ada negara ketika di akhirat nanti, di akhirat yang membedakan manusia hanyalah iman dan taqwanya kepada-NYA. Agama menegaskan hal itu, tetapi janganlah kita melupakan di dalam ajaran agama juga menegaskan bahwasanya manusia di dunia memang diciptakan berbeda-beda golongan dan jenis dari berbagai macam suku dan bangsa. Dunia adalah lisensi atau ujian untuk manusia apakah manusia berhak mendapatkan surga atau neraka-Nya. Jika amalan kita baik surgalah yang didapat, jika amalan buruk nerakalah yang didapat. Secara garis besar ajaran agama itu demikian adanya. Dan itu adalah hak mutlak yang dimiliki Tuhan yang meluluskan atau tidaknya kita sebagai hamba-Nya. Negara tidak bisa diorganisirkan dilangit atau di akhirat, negara tidak bisa diorganisirkan tidak diatas suatu batas wilayah, tidak dengan manusia-manusia yang berdiam diatasnya, tidak boleh tidak dengan adanya sisitem pemerintahan, dan tidak boleh tidak dengan tujuan negaranya. Kita semua dalam NKRI yang kita cintai ini memiliki semuanya. Dan tujuan kita adalah realisasi daripada Pancasila.

Untuk mencapai tujuan demi keadilan sosial bangsa Indonesia harus menggalang persatuan dan kesatuan bangsa dalam keberagaman suku dan budaya yang kita miliki. Bung Karno sering menegaskan bahwa Pancasila adalah satu-satunya alat pemersatu bangsa Indonesia. Paham atau ideologi apapun tidak akan cocok jika diambil dan diterapkan mentah-mentah untuk bangsa ini. Paham-paham yang ada di dunia jika kita ambil baiknya akan bersinergi dengan Pancasila. Seperti paham Nazi misalnya, nasionalisme mereka bisa kita ambil baiknya untuk menumbuhkan paham kebangsaan, tetapi kita tidak boleh berlebihan dengan melupakan dunia Internasionalisme, nasionalisme tidak akan tumbuh subur jika tidak berada di ladangnya internasionalisme, disinilah “Pancasila” berperan untuk menyeimbangkan bahwa nasionalisme kita bukanlah seperti chauvinismenya para pegikut Adolf Hitler. Begitu pula dengan paham-paham yang lainnya. Paham apapun kita harus sinkronisasikan dengan Pancasila agar tidak terjadinya kekacauan politik di NKRI ini.

Pancasila sebagai pemersatu tak dapat dipisahkan dari perjuangan rakyat Indonesia yang berpulu-puluh tahun memperoleh kemerdekaan ini. Dulu sebelum kemerdekaan ketika kita masih berjuang melawan penjajah, ketika kita masih terjajah secara fisik, banyak pahlawan-pahlawan yang berjuang dengan melalui berbagai macam peperangan dan kemudian gagal mengusir bangsa penjajah keluar dari tanah air kita. Penyebab satu-satunya kegagalan saat itu karena kita tidak bisa mempersatukan bangsa Indonesia dari sabang sampai merauke. Kita ingat perjuangan Pangeran Diponegoro, betapa hebatnya, betapa patriotisme dan heroismenya perjuangan beliau, begitu juga dengan perjuangan pahlawan lainnya seperti Sultan Agung Hanjarakusuma, Sultan Hasanudin, Teuku Umar,Cik di Tiro, Surapati, dan pahlawan lainnya yang sampai detik ini menginspirasi bangsa ini untuk tetap berjuang mempertahankan NKRI ini. Perjuangan mereka tidaklah sia-sia, tetapi pada saat itu kenapa mereka gagal mencapai tujuan apa yang hendak dicapainya,yaitu negara yang merdeka? Mereka gagal karena perjuangan mereka hanya dijalankan oleh sebagian rakyat Indonesia di daerah tertentu saja. Tetapi tatkala bangsa Indonesia dapat mempersatukan bangsanya dari sabang sampai merauke, gugurlah semua bentuk penjajahan fisik dan berkibarlah sang saka Merah Putih dengan gagahnya.

Di zaman kemerdekaan ini sebenarnya kita masih terjajah secara pemikiran, dan inilah yang harus diperangi oleh bangsa ini demi mewujudkan tujuan untuk mencapai kemakmuran dan keadilan berdasarkan Pancasila. Revolusi kita belum selesai, di negara yang telah merdeka ini bangsa kita masih terjajah secara mental dan pemikiran. Bangsa ini masih tidak percaya diri ketika menghadapai bangsa asing yang seolah-olah lingkungan dunia mengatakan bahwa bangsa asing terlihat lebih intelek dengan bangsa kita. Dan lebih buruknya lagi banyak diantara bangsa kita yang menaruh syak wasangka yang buruk diantara bangsanya sendiri. Banyak dari bangsa kita yang terjajah secara pemikirannya mengatakan bahwa bangsa kita adalah bangsa pengemis, bangsa maling, bangsa kuli. Sekarang kita harus menegaskan disini “bangsa siapa yang membeli tanah dengan harga yang murah di desa-desa di negeri kita?, bangsa siapa yang memeras keringat kaum buruh sehingga kering kemudian dibayar dengan murah?, bangsa siapa yang memanfaatkan kerakusan pejabat korup sebagai kambing hitam untuk menjatuhkan harga diri dan martabat bangsa ini?”. Disini kita harus cerdas melihat segala sesuatunya. Kita harus meneruskan jalannya revolusi bangsa ini dengan menghentikan penjajahan didalam diri dan oleh diri kita sendiri, karena sesungguhnya musuh terbesar manusia adalah dirinya sendiri. Jika kita bisa menggalang persatuan dan kesatuan dengan Pancasila sebagai alat pemersatunya, kita yakin bahwa siapapun dari bangsa apapun tidak akan bisa memecah belah bangsa ini. Sekali lagi jika kita ingin mencapai apa yang kita cita-citakan tidak boleh tidak bersatu dengan Pancasila sebagai alat pemersatunya. Kita harus bersatu dan bersama-sama menggali kembali nilai-nilai Pamcasila yang –menurut saya- telah terkubur lagi karena pemikiran bangsa ini yang mudah terhasut dan terbawa arus oleh isu globalisasi, sehingga lupa dengan nilai-nilai dari budayanya sendiri. Bahkan cenderung malu mengakui kebudayaannya sendiri. Dan berbangga dengan kebudayaan asing yang justru menghancurkan nilai-nilai luhur budayanya sendiri. Isu Hak Asasi Manusia yang merupakan isu globalisasi adalah contoh nyata yang mempengaruhi bangsa ini, kita lihat kasus HAM yang ada di Negara Barat tentang pemukulan orang tua terhadap anak perempuannya, sang bapak beralasan memukul anaknya karena si anak perempuannya pulang dengan kekasihnya dalam keadaan mabuk karena minuman keras, sang Bapak kesal dan cemburu lalu kemudian marah sehingga tak kuasa menahan emosi dan dengan refleks tangan bergerak melayang ke arah si anak perempuannya. Lalu kemudian si anak perempuannya melapor ke pengadilan HAM ditempat, dan kemudian sang bapak dipenjara akibat perbuatannya. Akhirnya para orang tua tidak bisa berbuat apa-apa melihat anaknya yang terjun ke dunia hitam. Bayangkan jika ini terjadi di bangsa kita, dimana kedudukan orang tua tak lagi patut dihargai oleh anaknya. Apakah budaya hedonisme yang seperti yang kita inginkan, apakah jasa orang tua yang mengandung dan membesarkan anaknya tidak lagi berharga?. Jika ini sampai terjadi di negeri ini kedudukan sakral antara orang tua dan anak yang penuh kasih dan sayang akan tidak berarti lagi, perlahan budaya yang berbudi luhur akan hilang dan kita mengarah ke kebebasan yang sebebas-bebasnyanya. Di titik inilah kita bisa mengambil nilai-nilai dari Pancasila, dalam Pancasila intinya adalah keadilan sosial, jika ingin menghargai orang kita harus menghargai orang lain, jika anak ingin dihargai orang tua, hargailah orang tua, begitu juga sebaliknya. Dalam hidup ini apa yang kita tanam itulah yang kita tuai. Kita tanam kebaikan maka kebaikan yang kita dapat, kita tanam keburukan maka keburukanlah juga yang kita dapati. Dengan menghargai bangsa dan budaya sendiri maka dengan sendirinya Karakter Nasional Bangsa Indonesia akan terbentuk secara baik. Jika semua sudah terbentuk dan terpatri dalam hati sanubari bangsa ini, Orang Jawa, orang Sunda, orang Aceh , orang Papua, orang Kalimantan ,orang Bali, orang Padang, dan orang-orang dari daerah manapun dari suku dan bangsa apapun yang berada di wilayah NKRI ini akan merasa satu jiwa, satu bahasa, satu tanah air dan satu bangsa, yaitu BANGSA INDONESIA. Bersama-sama kita akan mencuci sang saka Merah Putih yang telah terkotori oleh tangan-tangan kita sendiri, dan kita kibarkan kembali untuk masa depan anak-cucu kita.

Minggu, 03 Februari 2008

Filsafat Pancasila Sila II "Kemanusiaan yang adil dan beradab"


Sejak awal zaman kehidupan, manusia adalah makhluk sosial. Manusia tak dapat hidup tanpa manusia lainnya. Sejak dahulu bangsa kita mengenal istilah “gotong-royong” dimana jika ada yang berat dipikul bersama-sama pastilah terasa lebih ringan. Dengan bergotong-royong untuk kebaikan dan keadilan kita bisa merasakan kekuatan rasa kemanusiaan dan prikemanusiaan yang sejati, seperti yang dilambangkan oleh sila ke-2 dengan perumpamaan sebuah rantai yang kokoh dan tiada putusnya rantai kemanusiaannya itu. Manusia beranak, anak beranak lagi, kemudian anak beranak lagi, ini rantai yang tiada putusnya dari zaman ke zaman. Bukan sekedar demikian, rantai yang dilukiskan diatas perisai Sang Garuda Pancasila ini juga melukiskan hubungan antara bangsa dengan bangsa dimana kita sebagai Bangsa Indonesia adalah bagian dari dunia yang terdiri dari bangsa-bangsa. Kita adalah bagian dari keluarga dunia yang antara bangsa yang satu adalah merupakan saudara bagi bangsa yang lainnya. Pada hakekatnya pun adalah satu rantai yang tiada putusnya. Tiada manusia dapat hidup bersendirian tanpa berdampingan, demikian pula dengan bangsa, sebuah bangsa tak dapat hidup sendiri, bangsa hanyalah dapat hidup di dalam masyarakat umat manusia di dalam masyarakatnya bangsa-bangsa.

Pada awalnya memang tidak ada yang dinamakan bangsa-bangsa itu bangsa adalah hasil dari pertumbuhan kehidupan manusia. Zaman dahulu sekali tidak ada yang dinamakan bangsa Indonesia, tidak ada yang dinamakan bangsa Jerman, tidak ada yang dinamakan bangsa Jepang, tidak ada yang dinamakan bangsa Amerika, dan demikian juga bangsa-bangsa lainnya. Dahulu di Amerika itu sebelum dinamakan bangsa Amerika, disana terdapat suku pribumi yang merupakan penduduk asli benua Amerika yang dinamakan suku Indian ; ada suku Sioux, ada suku Apache. Beragam suku Indian itu belum berbentuk sebuah bangsa. Tetapi kemudian setelah ditemukannya benua Amerika oleh pelaut Eropa maka benua itu diserbu dan diduduki oleh emigran-emigran Eropa, emigran-emigran Jerman, emigran-emigran dari Italia, Norwegia, dari Irlandia, dan berbagai macam negeri lainnya. Lalu emigran-emigran dari berbagai negeri ini bersatu, percampuran manusia-manusia dari berbagai negeri inilah yang dinamakan sebagai bangsa Amerika. Melihat dari gambaran diatas, paham bangsa adalah hasil daripada satu pertumbuhan manusia dari hubungan intim laki-laki dan perempuan yang membentuk sebuah kelompok keluarga, kemudian berkembang membentuk kelompok suku-suku, dan kemudian membentuk kelompok bangsa-bangsa. Inilah rantai yang kuat dari laki-laki dan perempuan.

Zaman dahulu ketika belum ada hukum dimana pada zaman itu berlaku hukum rimba yang disebut juga zaman homohomoni lupus. Belum ada yang dinamakan perkawinan, kehidupan suami-istri seperti sekarang. Kehidupan dalam zaman itu campur aduk dan semrawut. Hubungan anatar rantai laki-laki dengan perempuan semau-maunya dan sebebas-bebasnya, sama dengan binatang di alam rimba. Ada, waktu-waktu hubungan pasangan yang singkat dan hanya sebentar, sebagaimana juga anjing serigala didalam waktu ia birahi sebentar selalu anjing betina A sebentar selalu dengan anjing perempuan B, tetapi beberapa pekan putus, nanti sudah berhubungan lagi dengan anjing lain. Sebentar lagi berpasangan, tapi kemudian putus hubungan itu, pindah kepada wanita anjing lain atau pindah kepada pria anjing lain. Itulah gambaran kehidupan manusia sebelum ada hukum. Setelah ada hukum khususnya dalam agama, didalam agama kaum Ibu ditinggikan derajatnya sebagai Ibu, bahkan dalam agama dinyatakan bahwa “Surga ada di telapak kaki Ibu”. Kaum wanitalah yang pertama kali membuat hukum, yaitu Hukum Keturunan. Pada zaman homohomoni lupus, tidak bisa dibuktikan anak itu bapaknya siapa. Tetapi jelaslah sudah Ibunya, seorang wanita yang melahirkannya. Ketika para lelaki pergi berburu mencari binatang, wanitalah yang karena ingin meneduhkan anaknya yang ia cintai, ia mendapatkan ilmu membuat gubuk yang terbuat dari daun-daunan, kemudian berkembang dengan menggunakan bahan-bahan yang lebih baik. Wanita ini makin lama makin menjadi orang yang penting. Wanita ini makin lama makin menjadi produsen. Produksi makin lama didalam genggamannya. Ketika para lelaki berburu, wanita yang dengan akalnyalah yang bercocok tanam. Dialah yang memetik hasil tanaman untuk diberikan makan kepada anak-anaknya. Wanitalah juga yang menyimpan ikan-ikan di dalam periuk, dia yang membagikan ikan-ikan itu kepada anak-anaknya dengan adil. Maka akhirnya dialah yang menjadikan aturan-aturan, mengadakan hukum. Hukum yang kemudian dinamakan hukum matrilineal, hukum peribuan.

Setelah adanya hukum, manusia-manusia itu mengelompokkan dirinya dari suku-suku, kemudian menjadi bangsa-bangsa, maka duniapun yang sekarang akan semakin lama maikn menghilangkan batas-batas tajam antara bangsa dan bangsa. Inilah yang dikatakan Bung Karno dalam kursusnya sebagai paradox historis daripada abad yang kita alami. Historis paradox daripada abad-abad yang kita alami ialah politik kita melihat terjadinya bangsa-bangsa, terjadinya negara-negara nasional, terjadinya batas-batas yang melingkari bangsa-bangsa dan negara-negara nasional itu. Tetapi sebagai paradox daripada itu pertumbuhan sebagai akibat daripada perkembangan teknik terutama sekali, justru menghasilkan setapak demi setapak adanya batas-batas bangsa itu. Di satu pihak terjadinya negara-negara nasional dan bangsa-bangsa, di lain pihak perhubungan yang makin rapat antara manusia dan manusia, dan antara bangsa dengan bangsa. Maka oleh karena itu bangsa yang tergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ini pun makin didalam tekad kita ini tidak hanya ingin mengadakan satu bangsa Indonesia yang hidup dalam masyarakat adil dan makmur. Tetapi tidak hanya demikian, disamping itu kita juga tidak lupa dengan saudara kita bangsa lain yang merupakan bagian dari keluarga dunia yang kita bekerja keras pula dan bergotong-royong untuk kebahagiaan seluruh umat manusia di dalam keluarga dunia.