Pancasila adalah dasar negara, hal ini ditegaskan oleh Bung Karno karena ada pihak-pihak yang mengatakan bahwa paham atau pendirian kebangsaan tidaklah perlu adanya. Contohnya, di kalangan kaum Internasionalis Marxis – menurut Bung Karno – yang kurang mengerti betul tentang Marxisme. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa kebangsaan atau paham kebangsaan adalah salah, karena bertentangan dengan paham internasionalisme, bertentangan dengan persaudaraan umat manusia sedunia. Paham ini terkadang membuat peperangan-peperangan, yang akhirnya justru meniadakan kata “persaudaraan” itu sendiri. Demikianlah, maka mereka yang belum mendalami lebih dalam pengertian tentang Marxisme itu ada yang menentang paham atau pendirian kebangsaan.
Pada dasarnya manusia diciptakan berbagai macam suku, budaya, dan bangsa, adalah satu kenyataan yang tak bisa dibantah oleh siapapun juga. Berdasarkan fakta ini kita tidak boleh tidak mengakui adanya bangsa dan kebangsaan. Apalagi jika ada dari golongan-golongan agama yang berkata “agama tidak mau menerima paham kebangsaan itu, dalam agama tidak ada yang membedakan manusia kecuali iman dan taqwanya kepada Tuhan YME”. Maka dari itu Bung Karno menegaskan bahwa Pancasila adalah dasar negara, disini kita harus melihat perbedaan yang tegas antara “Negara” dan “Agama”. Negara hanyalah sekumpulan bangsa atau manusia yang berada di batas wilayah tertentu denang pemerintahannya sendiri di dunia ini dan tidak ada negara ketika di akhirat nanti, di akhirat yang membedakan manusia hanyalah iman dan taqwanya kepada-NYA. Agama menegaskan hal itu, tetapi janganlah kita melupakan di dalam ajaran agama juga menegaskan bahwasanya manusia di dunia memang diciptakan berbeda-beda golongan dan jenis dari berbagai macam suku dan bangsa. Dunia adalah lisensi atau ujian untuk manusia apakah manusia berhak mendapatkan surga atau neraka-Nya. Jika amalan kita baik surgalah yang didapat, jika amalan buruk nerakalah yang didapat. Secara garis besar ajaran agama itu demikian adanya. Dan itu adalah hak mutlak yang dimiliki Tuhan yang meluluskan atau tidaknya kita sebagai hamba-Nya. Negara tidak bisa diorganisirkan dilangit atau di akhirat, negara tidak bisa diorganisirkan tidak diatas suatu batas wilayah, tidak dengan manusia-manusia yang berdiam diatasnya, tidak boleh tidak dengan adanya sisitem pemerintahan, dan tidak boleh tidak dengan tujuan negaranya. Kita semua dalam NKRI yang kita cintai ini memiliki semuanya. Dan tujuan kita adalah realisasi daripada Pancasila.
Untuk mencapai tujuan demi keadilan sosial bangsa Indonesia harus menggalang persatuan dan kesatuan bangsa dalam keberagaman suku dan budaya yang kita miliki. Bung Karno sering menegaskan bahwa Pancasila adalah satu-satunya alat pemersatu bangsa Indonesia. Paham atau ideologi apapun tidak akan cocok jika diambil dan diterapkan mentah-mentah untuk bangsa ini. Paham-paham yang ada di dunia jika kita ambil baiknya akan bersinergi dengan Pancasila. Seperti paham Nazi misalnya, nasionalisme mereka bisa kita ambil baiknya untuk menumbuhkan paham kebangsaan, tetapi kita tidak boleh berlebihan dengan melupakan dunia Internasionalisme, nasionalisme tidak akan tumbuh subur jika tidak berada di ladangnya internasionalisme, disinilah “Pancasila” berperan untuk menyeimbangkan bahwa nasionalisme kita bukanlah seperti chauvinismenya para pegikut Adolf Hitler. Begitu pula dengan paham-paham yang lainnya. Paham apapun kita harus sinkronisasikan dengan Pancasila agar tidak terjadinya kekacauan politik di NKRI ini.
Pancasila sebagai pemersatu tak dapat dipisahkan dari perjuangan rakyat Indonesia yang berpulu-puluh tahun memperoleh kemerdekaan ini. Dulu sebelum kemerdekaan ketika kita masih berjuang melawan penjajah, ketika kita masih terjajah secara fisik, banyak pahlawan-pahlawan yang berjuang dengan melalui berbagai macam peperangan dan kemudian gagal mengusir bangsa penjajah keluar dari tanah air kita. Penyebab satu-satunya kegagalan saat itu karena kita tidak bisa mempersatukan bangsa Indonesia dari sabang sampai merauke. Kita ingat perjuangan Pangeran Diponegoro, betapa hebatnya, betapa patriotisme dan heroismenya perjuangan beliau, begitu juga dengan perjuangan pahlawan lainnya seperti Sultan Agung Hanjarakusuma, Sultan Hasanudin, Teuku Umar,Cik di Tiro, Surapati, dan pahlawan lainnya yang sampai detik ini menginspirasi bangsa ini untuk tetap berjuang mempertahankan NKRI ini. Perjuangan mereka tidaklah sia-sia, tetapi pada saat itu kenapa mereka gagal mencapai tujuan apa yang hendak dicapainya,yaitu negara yang merdeka? Mereka gagal karena perjuangan mereka hanya dijalankan oleh sebagian rakyat Indonesia di daerah tertentu saja. Tetapi tatkala bangsa Indonesia dapat mempersatukan bangsanya dari sabang sampai merauke, gugurlah semua bentuk penjajahan fisik dan berkibarlah sang saka Merah Putih dengan gagahnya.
Di zaman kemerdekaan ini sebenarnya kita masih terjajah secara pemikiran, dan inilah yang harus diperangi oleh bangsa ini demi mewujudkan tujuan untuk mencapai kemakmuran dan keadilan berdasarkan Pancasila. Revolusi kita belum selesai, di negara yang telah merdeka ini bangsa kita masih terjajah secara mental dan pemikiran. Bangsa ini masih tidak percaya diri ketika menghadapai bangsa asing yang seolah-olah lingkungan dunia mengatakan bahwa bangsa asing terlihat lebih intelek dengan bangsa kita. Dan lebih buruknya lagi banyak diantara bangsa kita yang menaruh syak wasangka yang buruk diantara bangsanya sendiri. Banyak dari bangsa kita yang terjajah secara pemikirannya mengatakan bahwa bangsa kita adalah bangsa pengemis, bangsa maling, bangsa kuli. Sekarang kita harus menegaskan disini “bangsa siapa yang membeli tanah dengan harga yang murah di desa-desa di negeri kita?, bangsa siapa yang memeras keringat kaum buruh sehingga kering kemudian dibayar dengan murah?, bangsa siapa yang memanfaatkan kerakusan pejabat korup sebagai kambing hitam untuk menjatuhkan harga diri dan martabat bangsa ini?”. Disini kita harus cerdas melihat segala sesuatunya. Kita harus meneruskan jalannya revolusi bangsa ini dengan menghentikan penjajahan didalam diri dan oleh diri kita sendiri, karena sesungguhnya musuh terbesar manusia adalah dirinya sendiri. Jika kita bisa menggalang persatuan dan kesatuan dengan Pancasila sebagai alat pemersatunya, kita yakin bahwa siapapun dari bangsa apapun tidak akan bisa memecah belah bangsa ini. Sekali lagi jika kita ingin mencapai apa yang kita cita-citakan tidak boleh tidak bersatu dengan Pancasila sebagai alat pemersatunya. Kita harus bersatu dan bersama-sama menggali kembali nilai-nilai Pamcasila yang –menurut saya- telah terkubur lagi karena pemikiran bangsa ini yang mudah terhasut dan terbawa arus oleh isu globalisasi, sehingga lupa dengan nilai-nilai dari budayanya sendiri. Bahkan cenderung malu mengakui kebudayaannya sendiri. Dan berbangga dengan kebudayaan asing yang justru menghancurkan nilai-nilai luhur budayanya sendiri. Isu Hak Asasi Manusia yang merupakan isu globalisasi adalah contoh nyata yang mempengaruhi bangsa ini, kita lihat kasus HAM yang ada di Negara Barat tentang pemukulan orang tua terhadap anak perempuannya, sang bapak beralasan memukul anaknya karena si anak perempuannya pulang dengan kekasihnya dalam keadaan mabuk karena minuman keras, sang Bapak kesal dan cemburu lalu kemudian marah sehingga tak kuasa menahan emosi dan dengan refleks tangan bergerak melayang ke arah si anak perempuannya. Lalu kemudian si anak perempuannya melapor ke pengadilan HAM ditempat, dan kemudian sang bapak dipenjara akibat perbuatannya. Akhirnya para orang tua tidak bisa berbuat apa-apa melihat anaknya yang terjun ke dunia hitam. Bayangkan jika ini terjadi di bangsa kita, dimana kedudukan orang tua tak lagi patut dihargai oleh anaknya. Apakah budaya hedonisme yang seperti yang kita inginkan, apakah jasa orang tua yang mengandung dan membesarkan anaknya tidak lagi berharga?. Jika ini sampai terjadi di negeri ini kedudukan sakral antara orang tua dan anak yang penuh kasih dan sayang akan tidak berarti lagi, perlahan budaya yang berbudi luhur akan hilang dan kita mengarah ke kebebasan yang sebebas-bebasnyanya. Di titik inilah kita bisa mengambil nilai-nilai dari Pancasila, dalam Pancasila intinya adalah keadilan sosial, jika ingin menghargai orang kita harus menghargai orang lain, jika anak ingin dihargai orang tua, hargailah orang tua, begitu juga sebaliknya. Dalam hidup ini apa yang kita tanam itulah yang kita tuai. Kita tanam kebaikan maka kebaikan yang kita dapat, kita tanam keburukan maka keburukanlah juga yang kita dapati. Dengan menghargai bangsa dan budaya sendiri maka dengan sendirinya Karakter Nasional Bangsa Indonesia akan terbentuk secara baik. Jika semua sudah terbentuk dan terpatri dalam hati sanubari bangsa ini, Orang Jawa, orang Sunda, orang Aceh , orang Papua, orang Kalimantan ,orang Bali, orang Padang, dan orang-orang dari daerah manapun dari suku dan bangsa apapun yang berada di wilayah NKRI ini akan merasa satu jiwa, satu bahasa, satu tanah air dan satu bangsa, yaitu BANGSA INDONESIA. Bersama-sama kita akan mencuci sang saka Merah Putih yang telah terkotori oleh tangan-tangan kita sendiri, dan kita kibarkan kembali untuk masa depan anak-cucu kita.
Pada dasarnya manusia diciptakan berbagai macam suku, budaya, dan bangsa, adalah satu kenyataan yang tak bisa dibantah oleh siapapun juga. Berdasarkan fakta ini kita tidak boleh tidak mengakui adanya bangsa dan kebangsaan. Apalagi jika ada dari golongan-golongan agama yang berkata “agama tidak mau menerima paham kebangsaan itu, dalam agama tidak ada yang membedakan manusia kecuali iman dan taqwanya kepada Tuhan YME”. Maka dari itu Bung Karno menegaskan bahwa Pancasila adalah dasar negara, disini kita harus melihat perbedaan yang tegas antara “Negara” dan “Agama”. Negara hanyalah sekumpulan bangsa atau manusia yang berada di batas wilayah tertentu denang pemerintahannya sendiri di dunia ini dan tidak ada negara ketika di akhirat nanti, di akhirat yang membedakan manusia hanyalah iman dan taqwanya kepada-NYA. Agama menegaskan hal itu, tetapi janganlah kita melupakan di dalam ajaran agama juga menegaskan bahwasanya manusia di dunia memang diciptakan berbeda-beda golongan dan jenis dari berbagai macam suku dan bangsa. Dunia adalah lisensi atau ujian untuk manusia apakah manusia berhak mendapatkan surga atau neraka-Nya. Jika amalan kita baik surgalah yang didapat, jika amalan buruk nerakalah yang didapat. Secara garis besar ajaran agama itu demikian adanya. Dan itu adalah hak mutlak yang dimiliki Tuhan yang meluluskan atau tidaknya kita sebagai hamba-Nya. Negara tidak bisa diorganisirkan dilangit atau di akhirat, negara tidak bisa diorganisirkan tidak diatas suatu batas wilayah, tidak dengan manusia-manusia yang berdiam diatasnya, tidak boleh tidak dengan adanya sisitem pemerintahan, dan tidak boleh tidak dengan tujuan negaranya. Kita semua dalam NKRI yang kita cintai ini memiliki semuanya. Dan tujuan kita adalah realisasi daripada Pancasila.
Untuk mencapai tujuan demi keadilan sosial bangsa Indonesia harus menggalang persatuan dan kesatuan bangsa dalam keberagaman suku dan budaya yang kita miliki. Bung Karno sering menegaskan bahwa Pancasila adalah satu-satunya alat pemersatu bangsa Indonesia. Paham atau ideologi apapun tidak akan cocok jika diambil dan diterapkan mentah-mentah untuk bangsa ini. Paham-paham yang ada di dunia jika kita ambil baiknya akan bersinergi dengan Pancasila. Seperti paham Nazi misalnya, nasionalisme mereka bisa kita ambil baiknya untuk menumbuhkan paham kebangsaan, tetapi kita tidak boleh berlebihan dengan melupakan dunia Internasionalisme, nasionalisme tidak akan tumbuh subur jika tidak berada di ladangnya internasionalisme, disinilah “Pancasila” berperan untuk menyeimbangkan bahwa nasionalisme kita bukanlah seperti chauvinismenya para pegikut Adolf Hitler. Begitu pula dengan paham-paham yang lainnya. Paham apapun kita harus sinkronisasikan dengan Pancasila agar tidak terjadinya kekacauan politik di NKRI ini.
Pancasila sebagai pemersatu tak dapat dipisahkan dari perjuangan rakyat Indonesia yang berpulu-puluh tahun memperoleh kemerdekaan ini. Dulu sebelum kemerdekaan ketika kita masih berjuang melawan penjajah, ketika kita masih terjajah secara fisik, banyak pahlawan-pahlawan yang berjuang dengan melalui berbagai macam peperangan dan kemudian gagal mengusir bangsa penjajah keluar dari tanah air kita. Penyebab satu-satunya kegagalan saat itu karena kita tidak bisa mempersatukan bangsa Indonesia dari sabang sampai merauke. Kita ingat perjuangan Pangeran Diponegoro, betapa hebatnya, betapa patriotisme dan heroismenya perjuangan beliau, begitu juga dengan perjuangan pahlawan lainnya seperti Sultan Agung Hanjarakusuma, Sultan Hasanudin, Teuku Umar,Cik di Tiro, Surapati, dan pahlawan lainnya yang sampai detik ini menginspirasi bangsa ini untuk tetap berjuang mempertahankan NKRI ini. Perjuangan mereka tidaklah sia-sia, tetapi pada saat itu kenapa mereka gagal mencapai tujuan apa yang hendak dicapainya,yaitu negara yang merdeka? Mereka gagal karena perjuangan mereka hanya dijalankan oleh sebagian rakyat Indonesia di daerah tertentu saja. Tetapi tatkala bangsa Indonesia dapat mempersatukan bangsanya dari sabang sampai merauke, gugurlah semua bentuk penjajahan fisik dan berkibarlah sang saka Merah Putih dengan gagahnya.
Di zaman kemerdekaan ini sebenarnya kita masih terjajah secara pemikiran, dan inilah yang harus diperangi oleh bangsa ini demi mewujudkan tujuan untuk mencapai kemakmuran dan keadilan berdasarkan Pancasila. Revolusi kita belum selesai, di negara yang telah merdeka ini bangsa kita masih terjajah secara mental dan pemikiran. Bangsa ini masih tidak percaya diri ketika menghadapai bangsa asing yang seolah-olah lingkungan dunia mengatakan bahwa bangsa asing terlihat lebih intelek dengan bangsa kita. Dan lebih buruknya lagi banyak diantara bangsa kita yang menaruh syak wasangka yang buruk diantara bangsanya sendiri. Banyak dari bangsa kita yang terjajah secara pemikirannya mengatakan bahwa bangsa kita adalah bangsa pengemis, bangsa maling, bangsa kuli. Sekarang kita harus menegaskan disini “bangsa siapa yang membeli tanah dengan harga yang murah di desa-desa di negeri kita?, bangsa siapa yang memeras keringat kaum buruh sehingga kering kemudian dibayar dengan murah?, bangsa siapa yang memanfaatkan kerakusan pejabat korup sebagai kambing hitam untuk menjatuhkan harga diri dan martabat bangsa ini?”. Disini kita harus cerdas melihat segala sesuatunya. Kita harus meneruskan jalannya revolusi bangsa ini dengan menghentikan penjajahan didalam diri dan oleh diri kita sendiri, karena sesungguhnya musuh terbesar manusia adalah dirinya sendiri. Jika kita bisa menggalang persatuan dan kesatuan dengan Pancasila sebagai alat pemersatunya, kita yakin bahwa siapapun dari bangsa apapun tidak akan bisa memecah belah bangsa ini. Sekali lagi jika kita ingin mencapai apa yang kita cita-citakan tidak boleh tidak bersatu dengan Pancasila sebagai alat pemersatunya. Kita harus bersatu dan bersama-sama menggali kembali nilai-nilai Pamcasila yang –menurut saya- telah terkubur lagi karena pemikiran bangsa ini yang mudah terhasut dan terbawa arus oleh isu globalisasi, sehingga lupa dengan nilai-nilai dari budayanya sendiri. Bahkan cenderung malu mengakui kebudayaannya sendiri. Dan berbangga dengan kebudayaan asing yang justru menghancurkan nilai-nilai luhur budayanya sendiri. Isu Hak Asasi Manusia yang merupakan isu globalisasi adalah contoh nyata yang mempengaruhi bangsa ini, kita lihat kasus HAM yang ada di Negara Barat tentang pemukulan orang tua terhadap anak perempuannya, sang bapak beralasan memukul anaknya karena si anak perempuannya pulang dengan kekasihnya dalam keadaan mabuk karena minuman keras, sang Bapak kesal dan cemburu lalu kemudian marah sehingga tak kuasa menahan emosi dan dengan refleks tangan bergerak melayang ke arah si anak perempuannya. Lalu kemudian si anak perempuannya melapor ke pengadilan HAM ditempat, dan kemudian sang bapak dipenjara akibat perbuatannya. Akhirnya para orang tua tidak bisa berbuat apa-apa melihat anaknya yang terjun ke dunia hitam. Bayangkan jika ini terjadi di bangsa kita, dimana kedudukan orang tua tak lagi patut dihargai oleh anaknya. Apakah budaya hedonisme yang seperti yang kita inginkan, apakah jasa orang tua yang mengandung dan membesarkan anaknya tidak lagi berharga?. Jika ini sampai terjadi di negeri ini kedudukan sakral antara orang tua dan anak yang penuh kasih dan sayang akan tidak berarti lagi, perlahan budaya yang berbudi luhur akan hilang dan kita mengarah ke kebebasan yang sebebas-bebasnyanya. Di titik inilah kita bisa mengambil nilai-nilai dari Pancasila, dalam Pancasila intinya adalah keadilan sosial, jika ingin menghargai orang kita harus menghargai orang lain, jika anak ingin dihargai orang tua, hargailah orang tua, begitu juga sebaliknya. Dalam hidup ini apa yang kita tanam itulah yang kita tuai. Kita tanam kebaikan maka kebaikan yang kita dapat, kita tanam keburukan maka keburukanlah juga yang kita dapati. Dengan menghargai bangsa dan budaya sendiri maka dengan sendirinya Karakter Nasional Bangsa Indonesia akan terbentuk secara baik. Jika semua sudah terbentuk dan terpatri dalam hati sanubari bangsa ini, Orang Jawa, orang Sunda, orang Aceh , orang Papua, orang Kalimantan ,orang Bali, orang Padang, dan orang-orang dari daerah manapun dari suku dan bangsa apapun yang berada di wilayah NKRI ini akan merasa satu jiwa, satu bahasa, satu tanah air dan satu bangsa, yaitu BANGSA INDONESIA. Bersama-sama kita akan mencuci sang saka Merah Putih yang telah terkotori oleh tangan-tangan kita sendiri, dan kita kibarkan kembali untuk masa depan anak-cucu kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar